BERBURU SASTRA SUNDA DI TOKO BUKU MERPATI - GARUT.


Toko itu terlihat berbeda, tampak manis di lingkungannya, di Jalan Ciledug, Kota Garut. Toko "Merpati" tulisan warna merah nama toko itu dalam huruf bersambung khas gaya retro. Begitu pula desain tokonya. Garis-garis pada dinding serta sebidang kecil bata timbul dan tenggelam di bagian atas toko. Buku-buku yang dipajang pada etalase jelas menyatakan bahwa toko itu menjual buku. Di dalam toko buku itu seolah kita masuk ke dalam era empat hingga lima dasawarsa silam. Mengingatkan suasana di dalam toko buku terkenal seperti Gunung Agung di Tugu, Yogyakarta. Toko dengan buku yang tertata rapi dalam lemari etalase berbingkai kayu cokelat tua. Buku-buku itu dijajarkan bersebelahan hingga jelas terlihat wajah depan sampulnya.

Asih Setiasih, sang pemilik toko buku Merpati, jugalah yang melayani pengunjung yang datang mencari buku atau sekedar melihat-lihat koleksinya. Asih selalu siap mendengarkan permintaan buku yang dicari pengunjung dan mencarikan yang dimaksud. Sebab, permintaan itu tak langsung menunjuk pada judul buku atau nama penulis yang tepat. Sebagian besar buku di toko yang dibangun pada 1960-an ini tentang Sunda, sastra Sunda, legenda kawasan Sunda, dan tentunya berbahasa Sunda. Beberapa judul buku tentang Kabayan. Karya sastrawan Sunda juga bisa ditemukan di tempat ini. Sebut saja di antaranya Aan Merdeka Permana, Ajip Rosidi, Samsoedi, Tatang Sumarsono, Usep Romli, Ahmad Bakri, Aam Amalia, dan Yoseph Iskandar. Sebagian buku pun ada dalam bahasa Indonesia, seperti Kerajaan Galuh karya Her Suganda, buku-buku karya Saleh Danasasmita, Menelusuri Prasasti Batutulis, Menemukan Kerajaan Sunda, dan Mencari Gerbang Pakuan. Namun, buku-buku puisi karya WS Rendra, Taufik Ismail, Chairil Anwar, dan kawan-kawan pun tampak terpajang pada posisi yang mudah terlihat. 


Meski tergolong sepi, toko buku Merpati tetap berpengunjung, terutama pada musim liburan, yang merupakan saatnya para perantau atau mereka yang berwisata datang ke Garut. Para pengunjung itu umumnya datang dari Garut dan sekitarnya, Bandung, dan Cirebon, yang memang sengaja datang untuk mencari buku-buku tentang Sunda. Ada juga dari kota yang lebih jauh lagi. Namun, pengalaman yang mengesankan bagi Asih adalah saat seorang dari Bandung, datang khusus ke Garut untuk menyambangi tokonya demi bisa membeli majalah Mangle, majalah yang terbit sejak 1957. Rupanya orang tersebut tak menemukan lagi majalah berbahasa Sunda yang ia cari itu di Bandung, hingga oleh beberapa orang disarankan untuk mencarinya di toko buku Merpati, Garut.

Mangle, majalah berbahasa Sunda yang berumur panjang itu, memang selalu dijual di toko buku Merpati. Tak heran, bila majalah yang didirikan di Bogor itu ditempatkan pada tempat yang mudah terlihat bersama dengan tabloid berbahasa Sunda, Galura, grup Pikiran Rakyat. Untuk operasional toko, sudah beberapa tahun belakangan ini, Asih tak lagi menggunakan tenaga pelayan. Sebab, selain pengunjung toko tergolong tak banyak, tak mudah pula mempekerjakan orang yang tidak dengan hati dan tanpa pengetahuan tentang buku. Misalnya, bila ada pengunjung mencari buku tertentu, pelayan seperti itu akan langsung bilang tidak ada, padahal sebenarnya ada. Jadi, kata Asih, kasihan pada pengunjung yang sudah capek-capek datang ke tempatnya untuk mencari buku tapi tidak berhasil mendapatkannya.


Karena itulah, Asih memutuskan untuk melayani sendiri pengunjung dan calon pembeli. Tak heran pula toko ini sebagian waktu tampak tertutup. Maklum, sehari-hari Asih juga bekerja di Badan Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan Garut. Jadi, ia hanya membuka toko sepulang dari kantor. Asih juga sengaja tak mengandalkan operasional sehari-hari toko pada sang suami, Asep Wawan Setiawan, yang setiap hari sudah sibuk mengurusi pabrik batu bata presnya. Tidak juga pada kedua anaknya yang masih kuliah dan sekolah. Tapi Asih tetap senang menjalaninya, karena ia memang cinta buku.

Menurut Asih, masa keemasan toko bukunya telah jauh berlalu. Pukulan tak terasa saat buku-buku sekolah tak lagi dijual lewat toko buku, tapi langsung didrop ke sekolah-sekolah, sejak sekitar 2002. Namun, cucu pembatik garutan pertama Garut ini tak ingin warisan orang tuanya gulung tikar. Asih ingat pesan orang tuanya, Sapingi dan Enung, untuk mempertahankan toko yang mereka bangun sendiri itu. Menurutnya, bagaimana pun juga amanah orang tua harus dijaga. Buku-buku tulis pun bukan menjadi sumber penghasilan toko. Sebab, banyak toko yang sudah menjual buku-buku tulis dan alat-alat keperluan sekolah. Bersaing dengan mereka dinilainya tiada guna. Jadi, Asih hanya menerima buku-buku titipan penerbit.

Penerbit Gramedia adalah salah satu di antara penerbit besar yang tetap menitipkan bukunya ke toko buku Merpati. Ada juga penerbit sastra seperti Pustaka Jaya. Asih pun juga menerima buku-buku yang diterbitkan sendiri oleh sang penulis. Tak hanya merekam sejarah turun naiknya bisnis perbukuan, toko tua berdesain manis yang dirancang pamannya, Ir Nuroni, dari Bandung pada 1954 itu juga merekam hampir seluruh sejarah hidup Asih. Sebab,  di situ pula ia tinggal bersama keluarga hingga kini. Cucu dari pengikut Pangeran Diponegoro yang hijrah ke Garut ini berharap tokonya bisa berumur panjang. Hal yang membuatnya gembira, keinginan sang anak untuk terlibat mengelola toko setamat kuliah. Sang anak memberikan ide, supaya toko buku ini juga kelak bisa menyatukan diri dengan berjualan minuman. Dan Asih pikir itu ide yang baik.


Komentar

Posting Komentar