Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, sudah lama dikenal sebagai desa miskin. Alamnya yang tandus membuat warganya kekurangan gizi, bahkan terdapat puluhan penderita tunagrahita. Namun di desa miskin itu, telah lahir sosok muda yang memberikan harapan bagi waganya. Dialah Eko Mulyadi, sang kepala desa.
Ada pemandangan
yang selalu terlihat di sebuah rumah yang terletak di Desa Karangpatihan,
Kecamatan Balong, Ponorogo, Jawa Timur. Tampak sekelompok laki-laki dan
perempuan tengah beraktivitas. Tangan mereka melilit-lilitkan potongan-potongan
kain perca dalam sebuah bentangan kayu segi empat yang ada di depannya. Gerakan
mereka terlihat lambat, tanpa ekspresi, dan tidak ada gurau atau cakap. Mereka
adalah sebagian warga setempat yang mengalami keterbelakangan mental. Di antara
mereka, ada seseorang yang memberi pengarahan agar anyaman kain yang akan
dijadikan keset itu terlihat rapi dan kuat.
Di desa itu
memang banyak penderita keterbelakangan mental. Namun, sejak pertengahan 2012,
para penderita keterbelakangan mental ini mulai bisa mandiri meski tidak
sepenuhnya. Kehidupan mereka yang dulu menjadi beban keluarga, saat ini mulai
berubah. Kini penghasilan mereka cukup lumayan. Dalam sehari mereka bisa
menghasilkan satu keset dengan upah Rp 7000. Uang tersebut paling tidak bisa
membantu memenuhi kebutuhan makan mereka.
Desa
Karangpatihan merupakan salah satu wajah potret buram kemiskinan, meski hanya
berjarak 23 km dari Ponorogo. Posisi desa diapit oleh empat gunung kapur yang
gersang. Sebelah selatan berdiri Gunung Prongos, di barat ada Gunung Lumbung
dan Rajegwei, serta sebelah utara Gunung Bangkong. Kondisi gersang dan susah air
irigasi membuat tanah desa tak subur. Hanya ketela dan sejenisnya yang bisa
tumbuh. Bila musim kemarau, yang terlihat di kanan-kiri adalah bebukitan yang
panas meranggas. Kondisi alam yang tandus membuat warganya kekurangan gizi.
Bahkan, terdapat puluhan penderita tunagrahita. Namun kini, ada secercah embun
menetes, ketika ekonomi desa mulai ada peningkatan yang cukup lumayan.
Salah satu
pelopor yang memberdayakan warga tunagrahita tersebut adalah pemuda penuh
energi, Eko Mulyadi. Berkat dedikasinya pula ia kemudian dipercaya menjadi
kepala desa setempat. Menurut Eko, mendidik orang yang memiliki keterbelakangan
mental bukanlah pekerjaan mudah. Meski begitu, ia merasa harus tetap melakukannya
demi mengangkat derajat mereka. Bapak satu anak ini menceritakan,
persentuhannya dengan para tunagrahita sudah dimulai sejak kecil. Bahkan ketika
dia masih duduk di bangku SD, yang mengantarkannya pulang pergi naik sepeda ke
sekolah adalah penderita tunagrahita.
Anak pertama
dari empat bersaudara ini menggambarkan kondisi kemiskinan desanya. Saat ini,
jumlah penduduk desanya 6000 jiwa yang terdiri dari 1.848 kepala keluarga (KK).
Dari jumlah ini, 561 KK masuk dalam kategori miskin, dan 290 KK lainnya dalam
kategori sangat miskin. Di antara mereka terdapat 96 jiwa tunagrahita. Eko
menduga banyaknya ibu yang melahirkan anak tunagrahita karena kemiskinan tekstur
tanah yang mengandung zat kapur dan menyerap yodium. Melihat keadaan kondisi
tunagrahita yang memprihatinkan, sejak
kelas 2 SMK Eko mulai melakukan aksi buat mereka. Selama ini kesejahteraan
masyarakat sangat rendah. Sehari-hari hanya makan nasi tiwul atau nasi aking
dengan lauk rebusan daun singkong. Eko lantas membuat proposal untuk mencari
donatur ke berbagai instansi atau mencari sumbangan beras supaya gizi mereka
lebih baik.
Bahkan,
menjelang Hari Raya Qurban, dia masuk ke lembaga-lembaga keagamaan. Ia meminta
agar penyembelihan daging qurban sebaiknya dilaksanakan di desanya. Upayanya
pun berhasil. Meski hanya dilakukan setahun sekali tapi tidak masalah. Yang penting
warganya bisa merasakan makan daging. Tak berhenti di situ, tahun 2006 semasa
menjadi pengurus organisasi mahasiswa salah satu PTS di Ponorogo, Eko melakukan
demonstrasi di depan gedung DPRD dan kantor bupati. Ia mencoba menarik
perhatian pemerintah untuk memperhatikan masyarakat tunagrahita di desanya. Tak
lupa ia membawa foto dan pamflet yang menyuarakan aspirasinya. Menurut Eko,
saat itu pemerintah seolah tak memperhatikan keadaan mereka.
Karena masih
belum mendapat perhatian serius, tahun 2009 ia menggandeng para jurnalis baik
teve maupun cetak yang ada di Ponorogo untuk mempublikasikan keadaan mereka.
Para jurnalis dalam liputannya menjuluki desanya dengan istilah kampung idiot.
Pemberitaan itu cukup ampuh. Begitu diberitakan, perhatian publik langsung muncul,
termasuk perhatian pemerintah. Setelah muncul di media, tak lama kemudian
Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, datang mengunjungi para tunagrahita dan
memberikan bantuan makanan sehat buat mereka.
Eko berpikir
bahwa bantuan bersifat konsumtif tidak menyelesaikan masalah. Sebab bantuan
makanan pada akhirnya akan habis. Ia pun mencari cara lain. Tahun 2010, ia
mendirikan kelompok masyarakat yang diberi nama Karangpatihan Bangkit. Di situ
ia menjadi ketuanya. Dari lembaga tersebut lahirlah ide mengikutsertakan para
tunagrahita yang memiliki fisik kuat sebagai pekerja kasar pada program
pemerintah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Yaitu ikut
membangun jalan desa. Mereka dibayar sehari Rp 40.000. Setelah PNPM habis, Eko
mendapat bantuan dana dari program CSR Bank Indonesia. Uang tersebut lalu
digunakan untuk mendirikan kolam-kolam lele di depan rumah penderita
tunagrahita. Lalu ia mengajari mereka beternak lele. Setiap panen, mereka
rata-rata memperoleh hasil Rp 200.000.
Selain harus
ekstra sabar saat mengajar, Eko dan timnya juga harus kreatif. Misalnya saja
untuk memberi tahu kapan mereka memberi makan ikan, Eko punya jurus jitu.
Karena mereka tidak bisa baca tulis dan melihat jam, maka dibuat patokan posisi
matahari. Ketika menunjuk posisi ketinggian matahari di timur serta di barat
dengan posisi tertentu, maka sudah waktunya memberi makan ikan. Eko mengatakan
usaha ini cukup lumayan berjalan. Setelah ternak lele berjalan bagus, Eko
mendirikan Balai Latihan Kerja (BLK) di rumah neneknya yang kebetulan di
tempati oleh kakak iparnya, Samuji. Di BLK itulah para tunagrahita diajari
membuat keset. Hasilnya pun lumayan. Sehari para tunagrahita itu bisa
menghasilkan satu keset dengan upah Rp 7000. Uang tersebut sudah bisa untuk
membeli beras dan makan.
Lagi-lagi
mengajari membuat keset bukan pekerjaan mudah, butuh ketelatenan sampai mereka
mengerti. Berkat ketekunan pula, para tunagrahita ini bisa produktif. Kualitas
keset buatan mereka cukup lumayan juga. Kalau soal kekuatan maupun ketebalan
keset, Eko menjamin tidak kalah dengan produk lain. Hanya saja, kalau sudah
sampai komposisi warna, biasanya jelas kalah. Karena mereka memang tidak
memiliki jiwa seni, maka terkadang paduan dan juga degradasi warnanya tidak
karuan. Selain dijual ke tempat-tempat umum, Eko juga ikut mempromosikan
kerajinan warganya. Kemana saja, Eko selalu membawa keset di dalam mobilnya.
Begitu bertemu dengan pejabat, ia berusaha menawarkan produk warganya yang
kurang beruntung itu. Bahkan teman-temannya sesama kepala desa sampai
meledeknya kades yang merangkap kerja sebagai salesman.
Bahkan kain
perca untuk perajin juga disediakan Eko. Untuk bahan baku kain perca, ia membelinya
dengan harga murah atau pemberian gratis dari penjahit di Malang, Surabaya,
juga Pacitan. Eko pun sampai sekarang masih sering mendatangi penjahit-penjahit
itu, sekedar meminta kain perca yang sudah tidak terpakai. Selain membuat
keset, Eko juga mengajari para tunagrahita itu keterampilan lain misalnya
membuat untaian tasbih serta lampion. Yang unik, untuk mengajak para
tunagrahita mau bekerja, Eko mengiming-imingi uang sebagai daya tarik. Persis
seperti melakukannya di hadapan anak kecil, yakni dengan menunjukkan
lembaran-lembaran uang itu di depan wajah mereka. Eko bangga karena semua
program pemberdayaan yang dilakukannya tidak didapat dari dana APBD. Selain itu
ia juga mengaku keberhasilannya saat ini berkat dukungan para perangkat desanya
serta timnya yang begitu semangat.
Eko sebenarnya
sama sekali tak ada keinginan menjadi kepala desa. Apalagi, kedua orangtuanya,
termasuk istrinya Yuliana juga mewanti-wanti tidak memperbolehkan ikut menjadi
kepala desa. Namun, ada satu cerita yang membuatnya harus menerima. Ceritanya, di
tengah malam pertengahan tahun 2013 menjelang pemilihan kades, tiba-tiba
rumahnya didatangi puluhan warga desa. Intinya mereka memaksa Eko untuk maju
menjadi kades. Karena dipaksa, ia pun hanya memberikan janji 70 persen bersedia.
Dan ia juga harus konsultasi kepada kedua orangtuanya. Tak disangka, warga juga
mendatangi rumah orangtuanya untuk minta jaminan agar Eko diizinkan jadi kades.
Semula orangtua Eko keberatan. Namun, atas desakan masyarakat, sehari menjelang
penutupan pendaftaran, ayahnya memberikan lampu hijau. Ketika ia maju, calon
lain pun memilih mundur. Karena tidak mungkin ia menjadi calon tunggal, untuk
memenuhi syarat ia pun meminta adiknya untuk ikut maju menjadi calon kades. Dan
Eko akhirnya berhasil meraih 90 persen suara.
Sebenarnya,
cita-cita Eko sejak kecil adalah menjadi pengusaha. Baginya, salah satu cara
untuk memajukan desanya yang di bawah garis kemiskinan adalah dengan memunculkan
berbagai jenis usaha baru. Karena itu, meski saat ini sudah menjadi kades, ia
tetap menumbuhkan wirausaha di desanya. Salah satu contoh, ia minta setiap
dusun menggalakkan membuat makanan ringan, kue, serta budidaya telur ayam. Eko
mengeluarkan peraturan, setiap orang yang punya hajatan wajib hukumnya membeli
makanan ringan dari desanya sendiri. Dengan peraturan ini, perekonomian desa
menjadi jalan. Ayah dari Victoria Exana Bintang Leorenza ini, juga tak
kesulitan mendatangkan pelatih untuk mengajari warganya di berbagai bidang.
Selama ini, ia selalu menggandeng berbagai perguruan tinggi yang selalu dengan
senang hati mau mengajari. Sebagai bentuk timbal balik, Eko pun juga sering
diminta untuk tampil sebagai pembicara di perguruan tinggi tersebut tentang
perjuangannya mengelola desanya.
Untuk
menggiatkan aktivitas desa, Eko juga melibatkan diri secara langsung. Mulai
dari membina karang taruna, ikut tim futsal desa, sampai mengisi panggung
kesenian. Bahkan ketika di desanya ada pertunjukan ketoprak, ia dan beberapa
perangkat desa ikut main. Selain itu Eko juga pernah mengadakan expo yang menjual
produk-produk warga desa sendiri. Bila dilihat, sosok Eko memang tak tampak
seperti birokrat desa. Penampilannya mirip gaya anak muda masa kini. Ia sering
mengenakan celana jenas dengan baju sewarna dan sepatu kets. Rambutnya pun
dicukur gaya mohawk. Maka tak heran, bila ia sedang diundang menjadi pembicara
di perguruan tinggi, banyak yang tidak menyangka kalau sosoknya adalah seorang
kepala desa. Dan sebagai kepala desa, Eko pun masih ingin melakukan banyak hal
lagi untuk kesejahteraan desanya. Di sebuah desa dataran kapur yang gersang di
musim kemarau, Eko berusaha hadir, memberi setetes kesejukan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAndai indonesia mempunyai banyak pemimpin seperti anda .... jadilah pemimpin yg bisa mjd khalifah umat manusia .... ya Allah beri jalan utk perjuangan p eko mulyadi .... salut buat pak kades
BalasHapusSetuju. Sayapun salut
HapusPak, anda adl orang hebat di Jatim
BalasHapusSemoga bisa menjadikan beliau sebagai inspirasi utk membangun negeri
BalasHapusHai kak, saya intan ginasti mauhasiswa bina nusantara university jurusan broadcasting. Kak saya ingin membuat film dokumenter tentang pak eko ini untuk tugas akhir saya, kalau boleh tau, apa kakak punya kontak pak eko ini ya?
BalasHapusJikaa ada bolehkah kakak share ke saya?
Terimakasih kak :)
Boleh minta nomor kontak pak eko mulyadi?
BalasHapusSosok generasi yg sangat hebat p eko mulyadi.... sy sngt terinpirasi smgt trrus krn bpk sdh sngt berarti bg masy karang kepatihan ....khoirunnas min anfa uhum linnas....sdh bpk amalkn ...smg alloh sll ngijabahi apa yg bapk..lakukan dmi msyarakat sana....
BalasHapusSalam dr sy m soleh jmber yg jg punya bnyk kel di nglewan banyon ponorogo
Kak,,boleh minta nmr kepala desanya?? Kami ingin mengadakan penelitian PKM di sana
BalasHapusProfile Kepala Desa yg amanah.patut di jadikan panutan para elite Politik Imdonesia.
BalasHapusSangat bagus keinginan bpk kepala desa, semangat tinggi dan pantang menyerah. Apa boleh minta nomer tlp beliau ya, terima kasih.
BalasHapus