JELAJAH MADIUN



Banyak hal tidak terduga yang akan kita temui, saat berkunjung ke Madiun. Kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia ini terletak 169 km sebelah Barat Kota Surabaya, atau 114 km sebelah Timur Kota Surakarta. Selain terdapat pusat industri kereta api (INKA), Madiun juga dikenal sebagai salah satu pangkalan utama AURI, karena keberadaan Lapangan Terbang Iswahyudi. Berbagai situs sejarah dan bangunan cagar bidaya pun masih tersisa di kota ini meski sebagian nampak kurang perawatan dan perhatian dari pemerintah daerah setempat, hingga kondisiunya sangat memprihatinkan.

Ya, memang tidak banyak kenangan masa lalu yang tertinggal di Madiun. Kawasan Pecinan yang dulu merupakan jantung ekonomi masyarakat dan dipenuhi bagunan kuno, kini hampir tidak berbekas lagi. Mungkin salah satu bangunan kuno yang masih bisa kita lihat di sini adalah sebuah rumah berarsitektur Tiongkok yang berdiri kokoh, di tengah himpitan bangunan ruko-ruko baru yang tampak megah. Pada gerbang rumah bercat hitam itu, terdapat tulisan aksara Cina, namun sayangnya pada era orde baru, atas perintah aparat Negara, tulisan Cina pada pintu gerbang berukuran empat meter itu harus ditutup.

Saat ini, rumah mewah itu dimiliki oleh sebuah keluarga bermarga Lee. Saat kita masuk ke dalamnya, bisa terlihat bahwa rumah itu memiliki halaman yang sangat luas. Dua buah patung singa di kiri dan kanan jalan, seolah sengaja ditempatkan sang pemilik rumah untuk menjaga tempat tinggalnya. Konon, usia patung singa itu diperkirakan sekitar 150 tahun, yang langsung didatangkan dari daratan Cina. Di depan rumah, terdapat dua buah tiang penyangga rumah yang terbuat dari kayu jati berbentuk kotak. Dilihat dari diameternya yang kira-kira 30 cm, dan tinggi hampir 4 meter, bisa diperkirakan usia kayu saat ditebang di atas 50 tahun, belum termasuk usia rumah. Kayu yang dipelitur warna hitam itu, terasa masih sangat kuat. Tidak ada satu pun sisinya yang termakan rayap.Rumah bertingkat dua seluas 10 x 20 meter ini berdinding sangat tebal dan temboknya tidak ada yang terlihat keropos. Bahkan, di sisi kiri dan kanan rumah terdapat dua penyangga yang terbuat dari beton setebal satu meter agar dinding rumah tidak roboh.

Tak jauh dari rumah itu, kita juga bisa menemui bangunan kuno lain yang merupakan bekas rumah dinas kapitan Cina, yang letaknya di depan alun-alun Madiun. Kapitan Cina dulunya adalah kepanjangan tangan pemerintah Belanda yang bertugas mengawasi dan menarik retribusi kepada setiap warga Cina yang berdagang di Madiun. Meski secara fisik terlihat bagus, rumah bergaya Eropa abad renaisans yang memiliki tiga pintu depan itu, kondisinya terlihat kurang terawat. Banyak rumput liar tumbuh di halamannya. Saat ini, rumah tersebut dikuasai secara pribadi oleh keturunan Kapitan Cina.

Pada masa kolonial, Kapitan Cina memiliki kedudukan yang sangat penting. Kita bisa melihat, pada jalur rel kereta api Madiun-Ponorogo yang berujung di stasiun Madiun lama, saat memasuki pusat kota, jalur rel nampak bercabang hingga berhenti di depan rumah Kapita Cina.  Dengan berhentinya jalur rel di depan rumah Kapitan Cina, itu sudah menandakan bahwa jabatan itu sangat berpengaruh dulunya. Namun jalur kereta api Madiun-Ponorogo sejak era 80-an memang sudah tidak aktif, dan rel yang mengarah ke Alun-Alun Madiun telah tertutup oleh proyek pelebaran jalan.   

Penelurusan jejak sejarah di Kota Madiun, selanjutnya bisa dilanjutkan ke jalan Diponegoro, yang duku bernama Jalan Wilhelmina. Di kawasan ini, terdapat bangunan bersejarah bernama gedung Bosbow. Bosbow atau Boschbouw diambil dari Bahasa Belanda, bosch yang berarti hutan atau kehutanan, dan bouw yang berarti gedung.

Pada era penjajahan, Bosbow merupakan sekolah kehutanan Madiun, cabang dari Sekolah Kehutanan Bogor. Pendirinya adalah JH Becking, seorang pimpinan Jawatan Kehutanan pada 26 Agustus 1939. Sekolah yang resminya bernama Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) itu didirikan karena Madiun dkenal sebagai sentra hutan produksi jati di Jawa Timur.

Kini bangunan itu dijadikan perumahan prajurit Komando Resort Militer (Korem) 081 Dhirotsaha Jaya. Namun sayangnya, kondisinya juga sangat memprihatinkan. Tugu di atas rumah sudah miring dan hampir ambruk. Adapun kondisi cat dan atap rumah dibiarkan tidak terawatt. Padahal seandainya pemerintah daerah setempat mau lebih memperhatikan dan melestarikan kondisi bangunan cagar budaya tersebut, tentu bangunan Bosbow bisa dijadikan sebagai tempat tujuan wisatawan yang menarik. Bahkan, bukan tidak mungkin bangunan Bosbow bisa menjadi ikon bangunan bersejarah di Madiun.

BANTENG KETATON


Salah satu peninggalan benda bersejarah di kota Madiun yang sempat ‘disingkirkan’, namun sampai sekarang masih tetap ada adalah patung banteng Ketaton. Pembuatnya adalah pematung Trijoto Abdullah pada 1947. Patung itu dianggap mencerminkan semangat warga Madiun yang dikenal sebagai ‘the Flame of Java’ dalam menghadapi agresi militer Belanda pertama.

Pematung kelahiran Solo pada 1917 itu awalnya menempatkan karyanya di depan Taman Makam Pahlawan Madiun, yang letaknya persis berada di poros jalan utama kota Madiun. Banteng yang terlihat sedang menunjukkan ekspresi marah itu disandingkan dengan patung seorang pejuang yang membawa bambu runcing. Pada penyangga patung terdapat semboyan, “rawe-rawe rantas, malang-malang poetoeng”

Namun, pada era Orde Baru, patung banteng itu kemudian dipindahkan ke kompleks Stadion Wilis, yang tidak termasuk jalur utama yang dilalui kendaraan. Sayangnya pula, kepindahan patung itu terkesan dilakukan secara asal-asalan.  Karena sekarang patung banteng itu berdiri sendiri tanpa didampingi patung sang pejuang. Kondisi patung banteng juga sangat memprihatinkan. Tanduk dan ekornya sudah rusak oleh tangan-tangan jahil. Posisi banteng juga berubah, tidak lagi menghadap ke jalan raya, melainkan ke samping. Menurut cerita sejarah, perpindahan patung itu terkait erat dengan perubahan peta perpolitikan di Indonesia. Karena saat itu, si pembuat patung diduga memiliki kedekatan dengan kelompok kiri. Maka konsekuensinya patung banteng itu pun juga dianggap sebagai simbol pelawanan terhadap pemerintahan yang baru. 



MENGUNJUNGI SITUS MANGIR


Di Madiun ada banyak situ berusia ratusan tahun yang teronggok begitu saja di lahan terbuka.  Salah saunya adalah situs Mangiran di kawasan hitan jati yang dikelola PT Perhutani di desa Mangirejo, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun. Petunjuk untuk mencapai lokasi benda peninggalan Kerajaaan Majapahit menjelang keruntuhannya itu cukup mudah. Begitu menemukan lokasi tempat penampungan kayu Saradan yang terletak di jalur Caruban-Nganjuk, kita bisa langsung masuk ke dalam area pengelolaan kayu jati. Jalan selebar empat meter yang dulunya merupakan jalur kereta pengangkut kayu peninggalan Belanda itu akan mengantarkan kita menuju situs. Sebelum sampai sana, kita melewati jembatan besi yang dibawahnya merupakan jalur kereta Madiun-Surabaya.

Ketika masuk area hutan jati, hanya kendaraan roda dua yang bisa digunakan untuk menyusuri jalan setapak, Di situ kita bisa menemukan jejak Pendopo Watu Gilang peninggalan Ki Ageng Mangir, menantu Sutawijaya, raja Mataram pertama di Mataram. Hanya kawat berduri berbentuk segi empat sepanjang 5x10 meter sebagai pelindungnya. Uniknya, sejak ditemukan hingga kini, situ berupa batu berbentuk melingkar yang dulunya digunakan Ki Ageng Mangir untuk beraudiensi dengan masyarakat, masih utuh. Situs ini memang dulunya dijadikan tempat pertemuan agar sang pemimping bisa dekat dengan rakyatnya. Dilihat dari rangkaian situs yang tersebat di hitan, diprediksi dulunya terdapat kehidupan warga pada abad ke 14 hingga 17 Masehi dengan corak Hindu dan Islam.

DI luar Pendopo Watu Gilang, terdapat tumpukan peninggalan situs Kerajaan Majapahit karena terbuat dari batu. Situs itu antara lain, lingga, batu lumpang, dan lesung yang fungsinya untuk menumbuk padi, umpak penyangga tiang rumah, batu bata berukuran besar berbentuk kotak dan bulat, dan berbagai ornamen pecahan arca serta puncak candi. Semua benda-benda kuno itu hanya ditaruh di papan terbuka sehingga ada sebagian yang hilang dicuri orang.

Sekitar 200 meter ke arah barat dari Pendopo Watu Gilang, ada aliran sungai yang di sampingnya merupaka sumber mata air sendang. Ini merupakan salah satu petilasan Ki Ageng Mangir. Di kawasan yang masuk Dusun Pepe, Petak 19, Caruban, itu ada pemandian abadi berukuran 1,5 x 2 meter yang dibangun dari batu bata. Pemandian berkedalaman air tiga meter itu dulu merupakan tempat mandi khusus raja.

DESA KALIABU, SENTRA PEMBUATAN BREM
 Nuansa sentra pembuatan brem mudah terasa saat memasuki Desa Kaliabu. Sebuah desa yang jaraknya sekitar 25 kilometer arah utara dari Kota Madiun. Banyak papan atau poster sebagai petunjuk tempat industri rumah tangga penjual brem. Namun dari puluhan industri rumah tangga pembuat brem, hanya dua yang benar-benar dapat dikatakan sebagai produsen, bukan mendapat pasokan dan menjual brem dengan bungkus merek sendiri.

Tidak ada yang tahu pasti asal-usul sejarah makanan khas Madiun ini. Namun dari mulut ke mulut, generasi ke generasi, dapat ditangkap bahwa penganan ini termasuk jenis makanan mewah di masa penjajahan. Hal yang cukup dimaklumi, karena pada saat itu bahan ketan sebagai bahan utama membuat brem, sangat sulit terjangkau. Yang pasti, pembuatan brem di desa itu merupakan tradisi turun temurun yang diwariskan nenek moyang para warganya.

Proses pembuatan brem ternyata cukup mudah, namun memerlukan waktu yang cukup lama. Lamanya proses pembuatan brem membutuhka waktu sekitar satu pekan. Bahan baku ketan menjadi titik kritis bagaimana kualitas rasa brem bisa terjaga. Ketan yang dipilih adalah ketan impor dari Vietnam. Ketan dari negeri Paman Ho Chi Minch itu memang memiliki keunggulan bisa mengembang dan hasilnya tebal.  Sementara itu, kualitas ketan local kalah jauh dan yang beredar di pasaran pun banyak dicampur dengan beras.

Dalam sehari, dibutuhkan sekitar 1,5 kwintal ketan untuk diolah menjadi brem. Ketan yang sudah dipilih dicuci dengan air bersih untuk kemudian dimasak di tungku selama 1,5 jam. Cara menglahnya mirip mengukus beras sampai matang. Ketika dirasa sudah matang, ketan yang lengket didinginkan dengan cara dibolak-balik. Lama pendinginan tidak ditentukan. Hanya saja, perlu menggunakan kipas angina agar proses pendinginan bisa berlangsung cepat. Setelah dirasa dingin, ketan dimasukkan ke dalam bak bundar dengan diberi ragi dan ditutup plastik Proses fermentasi selama satu minggu dilakukan agar ketan menjadi tape manis. Selanjutnya, ketan yang sudah lembek itu dimasukkan ke dalam kaleng untuk diaduk ke dalam mesin pengolah hingga menjadi bubur. Di sini, diberi pula pewarna satu botol ukuran jempol orang dewasa agar brem yang dijual nanti bervariasi.

Ketan diaduk terus selama 1,5 jam sambil diberi soda selama proses pengadukan. Soda di sini berfungsi membuat brem yang sudah kering bisa mengembang. Tanpa soda, akan banyak terbentuk rongga udara sehingga brem lebih ringan dan kualitasnya kurang baik. Tahap selanjutnya, ketan yang sudah menjadi bubur ditumpahkan di papan cetakan seluas 50 cm x 4 meter. Di papan kayu itu, dilakukan proses pemadatan menggunakan tangan selama 15 menit. Terkadang para pekerja juga menggunakan penggaris dari kayu untuk meluruskan ketan di papan. Bahan 1,5 kwintal ketan itu setiap harinya dibagi menjadi 13 papan. Bubur ketan itu lalu dibiarkan sampai pagi keseokan harinya atau sampai adonan brem menjadi keras.

Adonan yang sudah menjadi brem lalu digores sesuai ukuran sebelum dijemur.  Dalam cuaca panas, penjemuran hanya membutuhkan waktu setengah hari. Sementara di musim hujan butuh waktu sehari hingga dua hari agar brem benar-benar kering. Dengan proses penjemuran itu, brem bisa bertahan sampai empat bulan. Kalau tidak dipanasi sinar matahari, brem hanya tahan sebulan. Proses pengeringan secara alami hingga kini tidak bisa digantikan dengan teknologi.

Produk brem yang dibuat dan djual warga Desa Kaliabu bisa terus bertahan hingga saat ini, karena proses pembuatannya murni secara tradisional. Hingga kini proses pembakaran, masih mengunakan tungku dengan kayu agar menghasilkan kualitas brem unggulan. DI butuhkan kayu sebanyak satu mobil pick up setiap minggunya. Brem itu dikemas dalam bungkus berukuran 5x20 cm. Terdapat lima jenis rasa, yaitu cokelat, durian, jeruk, melon, dan stroberi. Produk brem Desa Kaliabu pun sudah menembus pasar di Bali dan Kalimantan, selain memasok untuk toko-toko yang berada di tengah kota Madiun.    

BERKUNJUNG KE PABRIK GULA




Madiun juga dikenal sebagai daerah pengasil gula. Setidaknya terdapat lima pabrik gula peninggalan Belanda yang masih beroperasi hingga saat ini.  Dua di antaranya adalah Rejo Agung dan Pagottan yang terletak di jalur utama kota Madiun. Terdapat symbol kereta api yang djadikan tugu di depan dua pabrik gula itu. Meski bangunannya terlihat tua, namun secara fisik kondisinya relatif bagus.



Yang patut disayangkan, jalur yang digunakan lori untuk mengangkut tebu dari perkebunan sudah tidak aktif meski kondisi relnya masih bagus. Sekarang pengangkutan tebu digantikan truk. Yang disayangkkan lagi, beberapa bangunan, khususnya di Pabrik Gula Rejo Agung, banyak yang dihancurkan tanpa alasan jelas. Namun kalau dirunut sejarah, bisa dipahami penghilangan beberapa gedung bersejarah itu, karena dulunya sering dijadikan ruang diskusi bagi kaum buruh untuk menyebarkan gagasan pemikiran filsuf Karl Marx. Pasalnya, Madiun dulu dikenal sebagai basis pergerakan kaum kiri.

MENGENAL MASAKAN KHAS MADIUN

Cita rasa segar dan berani merupakan kekhasan produk kuliner Madiun. Berikut makanan legendaris kota ini yang bisa dinimati :

1. Pecel Madiun.



Madiun identik dengan pecelnya. Karena itu pecel Madiun sangat terkenal dan digandrungi masyarakat. Pecel Madiun terdiri dari sayuran, singkong, bunga turi, kecambah, dan daun kemangi yang di atasnya dilumuri bumbu kacang dicampur petis. Di antara sekian banyak warung pecel yang ada di kota ini, salah satu yang terkenal adalah Warung Pecel Bu Andik, yang terletak di sudut pertigaan Jalan Kompol Sunaryo dan Jalan Dr Sutomo. Warung ini buka mulai pukul 17.00 WIB hinga 04.00 WIB. Pecel yang dijual oleh warung yang letaknya di depan gerbang utama Stasiun Madiun ini sangat komplet. Dengan lauk telur dadar, tempe goreng, dan ditambah kering tempe dan tahu yang dicacah tipis, kita cukup mengeluarkan Rp 8000 untuk membelinya.

2. Nasi Jotos



Nasi Jotos sangat familiar di masyarakat Madiun. Bentuknya mirip nasi kucing di Yogyakarta yang biasanya dijual di angkringan. Bedanya, porsi nasi jotos lebih banyak. Biasanya, nasi jotos dibungkus daun pisang dengan satu porsi berisi lauk mi kering, tempe kering olahan bumbu, dan sambal pedas. Harganya Rp 2.500 per porsi.

3. Garang Asem



Garang Asem merupakan alternative makanan yang bisa dicoba ketika bertandang ke Madiun. Makanan ini berasal dari Jawa Tengah, tapi populer di Madiun. Garang asem merupakan menu olahan ayam yang diberi bumbu tradisional dengan larutan santan yang dibungkus daun pisang dan kemudian dikukus. Karena rasanya yang menggoda selera dan gurih, garang asem sangat pas dimakan dalam kondisi panas. Harga garang asem dijual pada kisaran Rp 8000 atau Rp 10.000, plus nasi.

Komentar