MELACAK JEJAK SEJARAH SI PITUNG, JAGOAN DARI TANAH BETAWI






BERTANDANG KE KAMPUNG BANG PITUNG


Kampung Rawa Belong, yang berada di wilayah Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mempunyai seribu kisah tentang lahirnya tokoh legendaris, Bang Pitung. Pitung yang bernama asli Salihoen, dikenal sebagai sosok yang berani melawan penindasan atas penjajahan Belanda. Sebetulnya, ada beragam versi mengenai tempat kelahiran sosok pahlawan yang lahir pada abad 19 tersebut. Ada yang menyebut lahir di Tangerang, ada pula yang menyebut di Cakung, Jakarta Timur. Namun, Rawa Belong diyakini sejumlah peneliti maupun sejarawan merupakan kampong sang Robin Hood dari Betawi, menghabiskan masa kecilnya.

Berdasarkan sejarah lisan yang mengalir secara turun temurun, diceritakan Pitung kecil mengisi kegiatannya dengan bermain silat, lalu ketika masuk waktu Maghrib, pergi ke langgar untuk sholat dan mengaji. Kedekatan emosional antara Rawa Belong dan Pitung, memang tak bisa dibuktikan dari bukti jejak-jejak masa lalunya. Meski demikian di Rawa Belong lah, banyak keturunan kerabat Pitung yang masih ada sampai sekarang.

Meski Pitung tidak menikah, tapi darah keturunannya tetap ada, lantaran Pitung dilahirkan tiga bersaudara dari pasangan Haji Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah yang memang menetap di Rawa Belong.

Dji’ih, sepupu yang juga termasuk teman seperjuangan Pitung, juga diyakini tinggal dan dimakamkan di Kemandoran, yang juga masuk wilayah Rawa Belong. Hanya saja, serupa dengan Pitung, tak ada bekas peninggalan yang tersisa tentang sosok Dji’ih yang namanya juga masih harum di seantero Rawa Belong.

Salah satu upaya untuk menjaga kelestarian sejarah Si Pitung dilakukan warga Rawa Belong dengan membangun Lembaga Agama dan Kebudayaan Sanggar Si Pitung, yang didirikan pada 1995. Di sanggar yang terletak di Jalan Yusuf RT 004 RW 011 No 8, Rawa Bellong, Kebon Jeruk, Jakarta Barat inilah, anak-anak serta remaja Rawa Belong menimba ilmu mengaji dan silat khas Rawa Belong. Cingkrik, begitu aliran silat itu tersohor. 



Cingkrik adalah silatnya khas Rawa Belong. Istilah cingkrik sendiri muncul dari ungkapan Betawi, yaitu ‘jingkrak-jingkrik- atau ‘cingkrak-cingkrik’, yang berarti gesit dan lincah. Keunikan silat ini adalah pelakunya yang selalu melompat-lompat layaknya kera. Dari gerakan jejingkrakan itulah, nama Cingkrik akhirnya diabadikan.

Di kampung Rawa Belong Cingkrik menjadi besar. Saat ini sedikitnya terdapat 200 murid yang saban hari mengaji dan belajar silat di sanggar. Semuanya tanpa dipungut biaya. Soal darimana pemasukan sanggar, itu berasal dari tiap-tiap undangan yang datang kepada mereka untuk mengisi beberapa acara kebudayaan Betawi ataupun tiap acara pernikahan Betawi yang menginginkan adat Betawi.

MENGENAL SOSOK SI PITUNG

Pitung adalah pahlawan yang sangat melegenda. Dia adalah si bungsu dari iga bersaudara, anak pasangan Piun dan Pinah. Sebagian kalangan meyakini Pitung lahir di Rawa Belong pada 1874. Diyakini pula dia meninggal ada usia 29 tahun, di tahun 1903, di daerah Bandengan Utara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.  Sejak kecil dia belajar mengaji dan silat di langgar yang ada di Kampung Rawa Belong.

Versi lain meyakini Pitung lahir di Kampung Cikoneng, Tangerang. Pitung baru bermukim di Rawa Belong saat usia delapan tahun ketika kedua orang tuanya bercerai. Ibunya menolak dijadikan istri tua dan mengajak Pitung hijrah. Sang Ayah, Piun, tetap menetap di Cikoneng bersama istri muda dan tetap bekerja pada tuan tanah Cikoneng.

Sejak remaja, Pitung mengembara ke berbagai wilayah, seperti Tanah Abang, Penjaringan, hingga Banten. Di sana dia menimba ilmu dan memperdalam agama. Masyarakat Betawi saat itu mengenal kewajiban, pemuda Betawi harus bisa mengaji dan jago pukul. Salah satu ilmu yang dipelajari Pitung adalah Rawarontek, yang didapatnya saat berguru kepada Haji Naipin di Kampung Kemayoran.

Rawarontek merupakan ajian dari gabungan tarekat Islam dengan jampi-jampi Betawi. Berkat ilmu itu, konon Pitung menjadi tangguh lantaran mampu menyerap energy musuh-musuhnya. Pitung juga memiliki ajian Halimun, yang membuatnya mampu menghilang dari pandangan lawannya. Kesaktian Pitung makin lengkap saat ia memiliki ajian Pancasona, yang membuatnya kebal dan akan tetap hidup selagi menyentuh tanah.
Aksi si Pitung dimulai saat sepulang dari Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Uang hasil penjualan kambingnya dirampas kelompok Daeng Marais alias Rais, jawara berdarah Bugis. Pitung takut pulang ke rumah sebelum uangnya kembali. Dari situ, babak baru Pitung dimulai.

Aksi kelompok Pitung berlangsung selama 16 bulan, sejak 26 Juni 1892 sampai 19 Oktober 1893. Pitung dan Dji’ih merampok orang-orang kaya yang jahat. Salah satu balas dendamnya adalah dengan merampok harta Haji Syaifuddin, seorang tuan tanah kaya di daerah Marunda, Jakarta Utara. Rumah Haji Sayaifuddin yang diramnpok Pitung itulah yang sekarang ditetapkan sebagai benda cagar budaya DKI Jakarta, dan diberi nama ‘Rumah Si Pitung’.

Hari terakhir si Pitung, mati setelah ditembak dengan peluru emas oleh Schout van Hinne dalam suatu penggerebekan. Peluru emas digunakan karena Pitung dikabarkan kebal dengan peluru biasa. Begitu takutnya penjajah terhadap Bang Pitung sampai tempat dia dimakamkan pun dirahasiakan.

Namun masyarakat Rawa Belong sejak turun temurun percaya makan Pitung berada di sisi kanan depan Gedung Telkom, Jalan Palmerah Utara No 80, Kebayoran Lama, Jakarta Barat. Meski terlihat tak terawat, untuk waktu-waktu tertentu, banyak orang yang datang berziarah di sini.

WANGI PASAR BUNGA RAWA BELONG


Pasar Rawa Belong bisa menjadi penyegar perjalanan menyusuri jejak Pitung. Konon, selesai berguru kepada Haji Naipin, Pitung pulang ke Rawa Belong. Dia bekerja sebagai pengunduh (penebas) dari pohon-pohon yang panen. Buah-buah yang dipetiknya lantas dijual di pasar ini.

Pasar Rawa Belong kini maju pesat. Pasar yang disebut-sebut ada sejak awal abad ke 19 ini menjadi salah satu primadona Jakarta dan Indonesia. Luas lahannya yang mencapai. 1,4 hektar, Pasar Bunga Rawa Belong dikenal sebagai pusat penjualan bunga terbesar di Asia Tenggara.

Pasar Rawa Belong tepatnya berlokasi di Jalan Sulaiman, Rawa Belong. Letaknya, tak jauh dari pertigaan Rawa Belong yang membelah Rawa Belong lama di Jakarta Selatan dengan Palmerah di Jakarta Barat. Memasuki pasar bunga ini, mata kita langsung dimanjakan jejeran ribuan bunga yang siap dijual. Bunga didatangkan dari berbagai daerah, mulai Cianjur, Blora, hingga dari Jawa Timur. Jika ditotal, ada 700 pedagang di pasar ini yang berjualan secara turun temurun. Pasar Rawa Belong mencatat omzet Rp 40 miliar per tahun dari tiap transaksinya.

RUMAH SI PITUNG DI KAMPUNG MARUNDA



Orang menyebut bangunan rumah panggung model Bugis Melayu yang terletak di Jalan Kampung Marunda Pulo, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara ini, sebagai Rumah Si Pitung. Rumah yang mempunyai halama seluas 700 meter persegi ini kondisinya Nampak gagah dan terawatt lantaran baru direnovasi dua tahun silam. Konon, model panggung tak terlepas dari kondisi sejarah Marunda yang awalnya hingga sekarang masih didominasi rawa-rawa yang ditumbuhi pohon bakau. Sebagian rumah warga lainnya juga masih mempertahankan bentuk model rumah seperti ini.

Rumah Pitung didominasi warna cat merah delima. Bangunannya memiliki panjang 24 meter dan lebar 15 meter. Ada sekitar 40 buah tiang setinggi dua meter untuk menopang bangunan ini. Lantaran model panggung, maka kita harus menaiki tangga setinggi tiga meter untuk bisa masuk ke dalam rumah bersejarah ini.

Rumah Si Pitung berlantai kayu papan. Di pintu masuk, tertulis pengunjung tak lebih dari lima orang sekali masuk, agar lantai tidak ambruk. Akses masuk an keluar dibuat pada satu pintu, yakni dari teras depan rumah. Di sinilah ‘Bang Pitung’ menyambut. Bagian teras diisi meja bulat plus kursi serta empat stoples khas Betawi. Manekin (patung peraga) di teras ini menjadi pencuri perhatian bagi siapa pun yang datang. Pitung digambarkan dengan kostum dan peci hitam serta sarung hijau menggantung di leher.



Bangunan panjang ke belakang. Terdapat satu kamar tidur dan masing-masing satu ruang makan dan dapur. Di dalam rumah pun terdapat beberapa perabot gaya Betawi, seperti meja dan kursi makan kuno dengan teko kendi berbahan tanah liat, tempat tidur lengkap dengan kelambu, peralatan dapur, alat musik khas Betawi, dan congklak yang diletakkan di ruang tengah bangunan.



Dari lantai menuju langit-langit, bangunan ini hanya setinggi tiga meter. Harus sesekali merunduk jika melangkah melewati kayu peyangga atap. Di dinding kayu sekeliling rumah, terdapat panel yang memuat kisah si Pitung yang dikutip dari artikel “Si Pitung, Perampok atau Pemberontak”, yang ditulis buayawan Ridwan Saidi pada 2009.

Dari informasi di dinding itulah, kesejatian bangunan ini didapat. Walaupun diberi nama Rumah Si Pitung, sejatinya bangunan ini bukan rumah kelahiran atau milik keluarga Pitung. Rumah panggung yang tak jauh dari Rumah Susun Marunda ini sebenarnya milik Haji Syaifuddin, seorang tuan tanah asal Bugis yang rumahnya sempat dijarah Pitung dan kawanannya. Selain merampok, di rumah ini Pitung juga sempat bersembunyi untuk beberapa malam.

Meski sudah berulang kali direnovasi, tetap ada beberapa bagian lainnya yang tetap dipertahankan. Yang asli adalah empat tiang di teras depan rumah serta beberapa jendela dan gagang pintu yang masih dipertahankan nilai sejarahnya.

Di sebelah Rumah Si Pitung terdapat dua bangunan baru, yang dibangun pada tahun 2010, dengan arsitektur serupa. Bangunan pertama rencananya untuk perpustakaan. Sementara bangunan kedua digunakan untuk kantin.

MASJID SI PITUNG DI MARUNDA



Kampung Marunda Pulo memiliki masjid tertua tempat si Pitung sempat singgah dan menuaikan sholat, Masjid Al Alam Marunda. Kehadiran Pitung membuat masjid ini dikenal dan tersohor dengan nama Masjid Si Pitung.

Masjid Al Alam berdiri sekitar abad ke 16. Posisinya masih di Kampung Marunda Pulo, namun lebih dekat menuju bibir Pantai Marunda, Jakarta Utara. Jaraknya hanya 200 meter dari Rumah Si Pitung.

Dalam beberapa catatan sejarah, masjid ini dibangun Fatahillah pada 1527. Cerita waga setempat secara turun temurun, konon Masjid Al Alam ini hanya dibuat dalam satu malam. Arsitekturnya mengingatkan kita pada bangunan Masjid Agung Demak.

Bentuk bangunan masih dipertahankan aslinya. Masjid ini ukurannya tak lebih dari mushala, luasnya 64 meter persegi (8 x 8 meter). Peninggalan orisinal, terdapat pada empat pilar besar bantet penyangga masjid. Empat pilar konon mengandung filosofi pegangan hidup umat manusia : Islam, iman, ilmu, dan amal.


Dulunya, Pitung menggunakan masjid ini untuk bersembunyi. Di masjid ini dia bisa tak terlihat dari kejaran kompeni (Belanda). Masjid ini hanya setinggi empat meter dari lantai menuju langit-langit. Mungkin cukup terasa pengap sebelum pengelola meletakkan kipas angina di sisi atas dan sudut masjid. Catatan sejarah yang mengiringi perjalanan rumah Allah ini membuat Masjid Al Alam menjadi lokasi ziarah favorit para pengunjung senusantara. Biasanya, pengunjung tumplek pada saat hari-hari raya Islam, termasuk Idul Fitri.

Tak lengkap pula rasanya jika berkunjung ke masjid ini tanpa mengambil air wudhu di Sumur Tiga Rasa. Sumur kecil yang terletak persis di sisi sebelah kiri masjid. Nama sumur diambil lantaran airnya memiliki tiga rasa : asin, pahit, dan payau rasa air rawa.



Sejumlah penduduk meyakini, atas izin Allah, air di sumur ini juga berkhasiat untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Pertama kali cicip, mungkin akan berasa air tawar, kedua kalinya akan berasa tawar layaknya air tanah. Begitu juga ketika kembali mengambil air untuk ketiga kalinya, airnya akan berubah menjadi asin. Hal ini mungkin terjadi lantaran posisi sumur yang berada di antara tiga pertemuan : rawa, air tanah, dan air pantai. Dulunya sumur ini hanya berupa kolam. Kemudian oleh pengelola masjid dirapihkan dan diubah menjadi sumur karena banyak yang mengambil air wudhu di tempat ini.   

PANTAI MARUNDA



Pantai Marunda berada 50 meter di belakang Masjid Al Alam. Lokasinya menjadi salah satu tempat favorit wisata air di Jakarta Utara. Konon, Pitung juga sempat menghabiskan waktu di pantai ini untuk merenung dan mengasingkan diri. Pantai ini tak ada pasir karena pinggiran pantai sudah dibangun dinding beton.

Pemandangan indah akan terlihat sore hari saat kapal-kapal tongkang dari pelabuhan bersandar tak jauh dari pantai. Di pantai ini, juga ada menu favorit penganan yang dibuat dari bahan ikan-ikanan. Mulai dari ikan bakar, goreng, pecak, hingga bumbu rujak, ada semua di sini. Para pedagang makanan berjejer sepanjang bibir pantai dengan menyediakan jejeran meja untuk santap hidangan. Untuk tarif masuk pantai, cukup rogoh kocek Rp 2000.

MASJID AL ATIQ DI KAMPUNG MELAYU BESAR



Dalam kisahnya, Pitung sempat berhasil lolos dari Penjara Meester Cornelis pada 1891. Setelah lolos berkat kekuatan tenaga dalam, Pitung menyusuri Kali Ciliwung dan sempat singgah di masjid Al Atiq yang terletak di Jalan Masjid, Kampung Melayu Besar, Tebet, Jakarta Selatan. Konon, berdasarkan cerita dari turun temurun, masjid ini memiliki karamah yang mampu membuat tempat ibadah ini tak mampu dimasuki bala tentara Belanda.

Salah satu versi menyebutkan, masjid ini pertama kali dibangun pada abad ke 16 oleh sultan pertama Banten, Maulana Hasanuddin, yang berkuasa pada 1552-1570. Arsitekturnya serupa dengan Masjid Al Alam Marunda dan Masjid Agung Demak.


Komentar

  1. Makasih sob udah share , blog ini sangat membantu sekali .............




    bisnistiket.co.id

    BalasHapus
  2. Sayangnya si Pitung hanya sendiri, komentar balasan ya di blog saya www.goocap.com

    BalasHapus
  3. gw dr kcl udh kenyang denger cerita si pitung

    BalasHapus
  4. Pemuda yg hebat adalah yg mau tahu bahkan tidak melupakan sejarah budaya bangsa sendiri sebagai tali jembatan menuju masa depan

    BalasHapus
  5. Si Pitung adalah pendekar sakti, namun sayangnya dia hanya sendirian lawan banyak Belanda

    BalasHapus
  6. Pendekar yang membuat Gubernur Scott Hayne panas dingin

    BalasHapus
  7. Gak ada yang bisa kaya dya.. Orang baik selalu di kenang..

    BalasHapus
  8. si pitung asli darah bugis makassar..ayah n kakekx keturunan dri bangsawan makassar.

    BalasHapus
  9. Cma bsa liat command yg mengaku sna sini kturunan pitung.tersenyum aj n bangga jadi bagian pangeran jayakarta yg menghasilkan pitang dan pitung.

    BalasHapus
  10. Jangan sampe salah dengan asal usul kelahiran si pitung...benar yg sdh buat blog sejarah sipitung itu,mau lebih tau tentang sipitung dateng aja ke rawa belong tepatnya dekat pasar bunga,,masih ada orang tua atw sesepuh yg masih kerabat sipitung.

    BalasHapus
  11. Ada yg tahu silsilah saman /pitung ,
    karena itu canggah ane?

    BalasHapus
  12. Ada yg tahu silsilah saman /pitung ,
    karena itu canggah ane?

    BalasHapus
  13. Ada makam dimusholah al alam, tepatnya didepan imam, makam K.H.jamiin.. siapakah beliau..!? Adakah yg tau keturunannya..!? Makasih

    BalasHapus
  14. Ijin share ig bang ye, kebetulan ane buat akun betawi tangerang, agar penerus kita kenal bang pitung, supaya gak mudah terkecoh isu

    BalasHapus
  15. Pitung adalah sosok seorang pahlawan Betawi yg patut dikenang dan menjadi legenda Betawi.Agar penerus generasi Pitung bisa mengikuti langka langka jagoan Betawi.

    BalasHapus
  16. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  17. VISIT (KUNJUNGI)
    http://bit.ly/2x1iSpV
    Software Cek Struktur Nama Merupakan Aplikasi Yang Mirip ARKAND SCS (Secret Codes Site) Tool Yang Digunakan Untuk Cek Struktur Nama Dan Tanggal Lahir Untuk Mengetahui Tingkat Kesuksesan Seseorang.
    Software Cek Struktur Nama Tidak Perlu Install, Langsung Bisa Dipakai, Support OS Windows 32 Dan Windows 62 Karena Merupakan Portabel.

    BalasHapus
  18. tol
    ong bikin pertanyaa dari.teks pitung

    BalasHapus

Posting Komentar