KOMUNITAS : ROODE BRUG SOERABAIA, MENGINGATAKAN KEMBALI SEJARAH PERJUANGAN AREK-AREK SUROBOYO




Komunitas Roode Brug Soerabaia berdiri atas rasa keprihatinan karena makin banyak orang yang melupakan sejarah Surabaya. Padahal di kota ini pernah terjadi perang terbesar dalam sejarah peperangan di Indonesia yang sampai menewaskan dua jenderal Inggris, Mallaby dan Loder. Meski kaya akan cerita heroik serta banyaknya peninggalan bersejarah yang tidak ternilai, sayangnya banyak warga Surabaya yang seolah kurang peduli. Bahkan banyak yang tak tahu tentang sejarah kota ini. Tak pelak, keingintahuan masyarakat tentang sejarah Kota Pahlawan ini pun makin lama makin memudar.

Komunitas Roode Brug Soerabaia didirikan pada 2011. Namanya sengaja diambil dari bahasa Belanda. Roode artinya jembatan dan Brug adalah merah. Sengaja digunakan nama Belanda, karena sejarah Surabaya memang tak bisa dipisahkan dengan Belanda, negara yang ratusan tahun menjajah Indonesia. Saat ini, jumlah anggota yang bergabung dalam komunitas yang terdaftar di Facebook ini sudah mencapai 5000 dan berasal dari beragam latar belakang. Ada yang pelajar, mahasiswa, bahkan tentara.

Adi Erlianto Setyawan pendiri komunitas ini, awalnya sering menulis di blog tentang kisah pertempuran arek-arek Suroboyo ketika melawan penjajah. Pria yang sehari-hari berdinas di Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo ini juga menggambarkan tempat-tempat bersejarah yang banyak tersebar di Surabaya. Tulisan tersebut diperoleh dari hasil wawancara dari para veteran pejuang yang masih hidup dan tersebar di berbagai sudut kota. Salah satu narasumbernya adalah Hario Kecik, seorang dokter mantan Pangdam Mulawarman yang kini tinggal di Jakarta. Beliau adalah arek Suroboyo yang sekaligus pelaku sejarah Surabaya. Meski usianya sudah sepuh tapi daya ingatnya masih tajam. Menurut Adi, sosok yang biasa ia panggil Pak Hario ini sangat senang kalau diajak cerita soal Surabaya.

Untuk mendukung usahanya tersebut, Adi juga mendirikan toko Roode Brug Soerabaia di Jl. Pucang. Toko tersebut menjual kaos atau aksesori yang melambangkan Surabaya. Namun saat ini toko tersebut sudah ia pindahkan ke Museum Tugu Pahlawan untuk melayani para pendatang yang ingin membeli souvenir khas Surabaya. Usaha Adi tak sia-sia. Berkat keaktifannya berpromosi di dunia maya, banyak pembaca yang tertarik. Dan dari sanalah cikal bakal berdirinya komunitas Roode Brug Soerabaia ini.
 




Dalam perkembangannya setelah terbentuk komunitas dengan jumlah anggota yang cukup banyak, Adi tak hanya menggaungkan kembali sejarah perjuangan arek Suroboyo ketika melawan penjajah saja. Pria yang mengoleksi berbagai atribut tentara Belanda dan Indonesia, serta senjata sisa perang kemerdekaan ini, juga menampilkan rekonstruksi sejarah dalam bentuk teatrikal atau seni peran. Seperti bermain dalam drama kolosal, dengan mengambil lokasi yang biasanya di pelataran Tugu Pahlawan. Namun, meski hanya dalam bentuk seni peran, semuanya dilakukan dengan serius. Alur cerita dalam drama heroik itu memang benar pernah terjadi sesuai dengan penuturan saksi sejarah yang berhasil diwawancarai atau yang tercatat dalam buku sejarah.

Tak hanya runutan cerita, atribut yang dikenakan oleh tentara Belanda, termasuk tanda kepangkatan yang menempel juga disesuaikan dengan aslinya. Jadi, anggota komunitas Roode Brug Soerabaia tidak boleh memakai seragam atau atribut sembarangan tanpa tahu dasarnya. Bahkan yang ikut main dalam drama tersebut bukan hanya anggota komunitas yang remaja saja, tapi segala usia termasuk para anggota perwira TNI.
 




Kesungguhan Adi untuk menggali sejarah memang tidak main-main. Demi mendapatkan sebuah fakta yang sebenarnya, ia tidak sekedar mendengar dari cerita pelaku sejarah saja, tapi menggali langsung dari sumbernya di perpustakaan yang ada di Amsterdam, Belanda. Di perpustakaan tersebut ia tak hanya menguliti soal sejarah pergolakan saja, tapi juga peta posisi benteng pertahanan Belanda di kawasan Surabaya. Sehingga blue print atau struktur kekuatan bangunan benteng itu sendiri tercatat dengan baik. Adi bercerita, semula ia sempat tidak diizinkan pihak perpustakaan, tapi setelah ia berhasil meyakinkan bahwa tujuannya adalah untuk menggali dan melestarikan sejarah perjuangan, akhirnya ia diberi akses yang cukup.

Dari dokumen yang dimiliki ternyata di sebelah Tugu Pahlawan tersebut, dulunya ada stasiun radio Dome, yaitu radio milik Jepang. Dari radio itu pula pasukan Jepang yang ada di Surabaya pada 17 Agustus 1945 tahu jika Soekarno-Hatta membacakan teks proklamasi. Setelah membuka naskah di museum tersebut, Adi yang ketika berada di Belanda juga sempat mampir ke museum KNIL di Broenbeek ini, baru mengetahui ternyata pada masa revolusi, Belanda berusaha sekuat tenaga mempertahankan kota Surabaya dari Indonesia. Oleh karena itu di wilayah Surabaya didirikan belasan benteng pertahanan yang kokoh lengkap dengan meriamnya. Tapi saat ini, sisa benteng itu sudah lenyap semua dipakai untuk pemukiman warga. Yang tersisa hanya empat, satu di antaranya terletak di daerah Kenjeran, Surabaya.

Yang juga menyentuh kenangan di masa-masa sejarah perjuangan, selain melakukan reka ulang sejarah, komunitas Roode Brug Soerabaia terkadang juga melakukan kegiatan blusukan ke kawasan-kawasan yang memiliki nilai sejarah karena dulu dijadikan lokasi pertempuran oleh para pejuang. Adi pun sangat bersyukur, saat ini komunitasnya juga diberikan ruangan khusus untuk kantor oleh pengelola Tugu Pahlawan.
      

Komentar

Posting Komentar