INDONESIAN PEOPLE : SHEFTI LAILATUL LATIEFAH, Pendiri Yayasan Save Street Child, Berikan Pendidikan Pada Anak Jalanan




Gadis berparas cantik ini pantas menjadi teladan anak muda. Ia merintis lembaga nirlaba Save Street Child (SSC) yang bergerak memberikan pendidikan pada anak-anak jalanan. Kini, lembaga yang telah memiliki cabang di 17 kota ini terus bergerak memberikan pendidikan dasar bagi anak jalanan.

Shefti mendirikan SSC memang untuk memberdayakan remaja dan anak muda agar lebih bermanfaat untuk sesama. Bisa dibilang, inspirasinya bermula dari pengalaman pribadi saat bertemu anak-anak jalanan sekitar Desember 2013 silam. Waktu itu di malam hari, ia sedang makan bersama teman-temannya di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Lalu tiba-tiba datang dua orang pengamen cilik perempuan, bernama Lisa dan Wati. Shefti merasa kasihan dengan nasib mereka. Terbetik pemikiran, kontribusi sosial apa yang bisa dilakukan oleh anak-anak muda seperti dirinya untuk anak-anak jalanan itu ?

Kebetulan sejak tahun 2011, Shefti menjabat sebagai Sekjen Serikat Mahasiswa di Universitas Paramadina. Ia yang kuliah di Jurusan Komunikasi angkatan 2008 itu, sudah terbiasa membuat program kemahasiswaan. Shefti pun berpikir, kalau hanya sekedar kasihan terhadap nasib anak jalanan, tidak akan ada manfaatnya sama sekali. Butuh langkah yang lebih konkret. Ia pun mulai membuat program gerakan sosial untuk anak jalanan oleh anak muda. Setelah perjalanan penuh perjuangan, pada tanggal 23 Mei 2011, Save Street Child pun resmi berdiri.





Awalnya Shefti mengajak kedua pengamen cilik itu untuk tinggal bersama. Agar bisa menampung anak-anak lebih banyak lagi, ia bersama teman-temannya lalu mengontrak sebuah rumah di daerah Depok. Akhirnya, ada sekitar 10 adik asuh yang berusia 6 hingga 12 tahun tinggal di rumah itu. Bersama teman-temannya, Shefti juga sempat tinggal bersama di sana sekitar 2 tahun. Di sana ia dan teman-temannya mengajari mengaji, sholat, dan juga mengantar anak-anak itu ke sekolah.

Menurut Shefti, anak-anak jalanan itu senenarnya masih punya orang tua, tapi mereka mendapatkan pola asuh yang tidak benar. Pernah suatu saat, salah satu dari orang tua mereka mendatangi rumah di Depok itu dalam keadaan mabuk, lalu tanpa sebab langsung memukuli anaknya. Warga sekitar pun sempat panik. Shefti yang kala itu sedang mudik ke Surabaya pun, terpaksa harus segera kembali ke sana. Shefti merasakan, ternyata memang sulit sekali mengentaskan anak-anak jalanan ke kehidupan yang lebih baik. Banyak dari orangtua mereka yang justru tidak setuju. Bahkan ada orangtua yang sampai membayar preman untuk menjemput anak-anak yang dibina Shefti dan kawan-kawan. Preman itu biasanya mengaku sebagai paman anak-anak jalanan itu. Ia sempat mencoba untuk mengajak diskusi soal hak asuh anak. Tapi preman yang kerap memakai pakaian seragam tentara itu tetap tidak peduli. Sampai akhirnya, anak-anak jalanan itu pun terpaksa harus kembali ke orang tuanya. Sampai saat ini, Shefti masih sering merasa sedih bila mengingat kejadian itu. Apalagi anak-anak jalanan itu harus kembali ke orang tua yang kerap memukuli dan menyuruh mereka bekerja dari pagi hingga sore.

Tak putus asa, Shefti pun memulai kembali gerakannya dengan membuat akun Twitter dan berjualan secara online untuk fund raising. Lama-kelamaan, banyak yang bertanya, apakah langkah yang ia buat ini sebagai bentuk komunitas ? Dari sinilah, Shefti bersama teman-temannya terbetik ide untuk membuat sebuah komunitas sebagai awal gerakan. Mereka memulainya dengan menggelar aksi damai, seperti melakukan demo di Bundaran HI, event berbagi kado di mal, dan sebagainya. Sampai muncul ide agar mereka mulai berkontribusi lebih aktif, misalnya dengan menitipkan relawan ke LSM lain untuk menjadi pengajar.





Sayangnya proyek pertamanya ini gagal. Ada beberapa keluhan dari LSM yang dititipi relawan, mengatakan bahwa beberapa relawan sering tidak datang mengajar. Shefti pun akhirnya membuat rekrutmen kedua. Ia memberi pelatihan dan menyodorkan kontrak kepada relawan untuk bisa memenuhi komitmen mengajar minimal selama 3 bulan. Paling tidak, di sini teman-teman relawan bisa mengerti bagaimana berinteraksi dengan anak-anak jalanan.

Selain itu, kegiatan Save Street Child pun tetap melakukan fund raising dengan menjual beberapa paket donasi berupa pernik SSC, yakni kaus, gelang, notes, totebag, dan lain-lain melalui Twitter @SaveStreetChild dan website http://savestreetchild.org, hanya dengan seharga Rp 55.000 sampai Rp 330.000. Selain itu SSC juga masih memiliki 4 kelas belajar di Bogor, Pondok Ranji, Cikini, dan Kampung Beringin yang aktif memberikan pelajaran umum untuk anak-anak jalanan. Kebetulan juga, mulai tahun 2014 SSC telah berbentuk badan hukum berupa yayasan dan Shefi yang dipercaya menjadi ketuanya. Dengan yayasan ini, ia berharap SSC lebih profesional menjalankan programnya.





Shefti pun sempat diajak ke acara Bincang Pendidikan Indonesia dan bertemu dengan Bapak Hari, pendiri Millenium Learning Center (MLC). Di sini terjadi kesepakatan SSC akan bekerja sama untuk membuat kurikulum berbasis bakat yang sangat menunjang untuk anak jalanan. Bagaimanapun anak jalanan punya potensi untuk dikembangkan. Tidak mungkin mereka harus mengejar pendidikan layaknya orang biasa karena pada dasarnya mereka tidak memiliki banyak waktu. Karena itulah, Shefti tidak ingin membuat kelas untuk kejar paket.

Sebelum mengajak anak-anak jalanan untuk mau belajar, SSC akan mensurvei dan mendekati kelompok mereka terlebih dahulu. Setelah itu, SSC memberikan jadwal dan alamat tempat belajar sehingga mereka bisa menyesuaikan waktunya. Mereka belajar cukup seminggu sekali. Kadang Shefti dan teman-teman di SSC pun harus menjemput dan mengantarkan mereka mandi dulu di sungai, sebelum belajar dan mengaji. Dan Shefti bersyukur pola ini cukup berhasil. Bahkan, berkat jaringan di media sosial, banyak relawan dari berbagai kota tergerak membuat perwakilan SSC. Sampai sekarang, SSC sudah ada di 17 kota dengan puluhan relawan dan 160-an anak didik asuh.





Keberlangsungan SSC pun sempat menemui kendala, ketika ada salah satu relawan di cabang Makassar yang curhat bahwa di sana semakin sedikit relawan yang bergabung, karena banyak yang harus bekerja dan tidak aktif lagi. Ada juga cabang SSC di Medan yang sudah tidak lagi didatangi oleh anak-anak jalanan yang mau belajar. Bahkan ada relawan di Malang yang sampai mengeluh sambil menangis karena saat mengajar, tiba-tiba anak-anak jalanan itu diangkut oleh Satpol PP. Namun, kesulitan itu sama sekali tidak mematikan ambisi Shefti. Ia tetap ingin supaya pendidikan bisa diakses oleh siapa pun dan di mana pun. Pekerjaan yang dilakukannya bersama SSC ini merupakan proyek visible untuk anak jalanan. Bagi Shefti, karakter anak jalanan itu sangat unik karena mereka tidak hidup layaknya orang kebanyakan. Shefti pun selalu berharap semoga ke depannya bisa terwujud pendidikan berbasis komunitas sehingga tidak ada lagi anak-anak yang tak bisa sekolah karena tidak ada transportasi maupun akses menuju lembaga sekolah.

Menurut Shefti, anak-anak jalanan itu umumnya tidak mempunyai cita-cita yang konkret. Mereka mungkin ingin menjadi dokter, pilot, atau lainnya. Namun, mereka tidak terbayang harus melalui apa untuk mencapainya. Mereka bahkan tidak tahu ada profesi-profesi di luar yang biasa mereka sebutkan, seperti film maker, creative writer, reporter dan lain-lain. Inilah mengapa pada akhirnya Shefti bersama SSC membuat ide untuk memberdayakan mereka, agar mereka bisa mandiri, serta bisa mencari uang di luar mengamen, mengemis, dan sejenisnya. Ia ingin nantinya anak-anak jalanan itu tidak bergantung pada siapa pun, bahkan termasuk pada organisasi SSC.





Shefti sadar, aktivitasnya ini sempat membuat orang tuanya merasa khawatir. Oleh karena itu diawal ia sempat tidak menceritakannya. Tapi, setelah dirinya sering terekspos media, bahkan diliput stasiun televisi nasional, keluarganya mulai menanyakan, perihal tujuannya mengurusi anak-anak jalanan itu. Shefti pun berusaha memberi pengertian pada orang tuanya sampai akhirnya mereka mulai memahami kegiatannya. Apalagi setelah dirinya mendapatkan penghargaan, orang tuanya semakin percaya bahwa anaknya ini sedang menjalankan tugas yang mulia.

Meskipun begitu, orang tuanya, terutama sang ibu Hj. Ni’matussyarifah masih saja sering tetap khawatir. Misalnya, memikirkan bagaimana dengan nasib masa depannya ? Di mana nanti ia bekerja ? dan kapan ia menikah ? Shefti pun hanya berusaha terus membuktikan bahwa semua aktifitasnya ini bisa berjalan selaras. Saat ini, ia bekerja sebagai marketing koordinator di sebuah lembaga pendidikan bahasa Inggris di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sementara soal waktu kapan ia akan menikah atau punya anak, itu hanyalah soal menunggu waktu yang tepat saja.

Komentar