PEREMPUAN INSPIRASI : KUSNIYATI, Pendiri Bank Sampah Bintang Mangrove (BSBM) Surabaya. Memberi Penyadaran Tentang Lingkungan Kepada Warga Di Kampung Nelayan




Jangan remehkan pendidikan rendah. Meski hanya tamatan SD, Kusniyati, ibu dua anak di kampung nelayan Surabaya ini memiliki kesadaran lingkungan yang sangat tinggi. Ia ikut mendirikan bank sampah sekaligus memberi penyadaran tentang lingkungan kepada warga. Hasilnya, lingkungan bersih, warga pun mendapatkan penghasilan tambahan yang cukup berarti.

Kawasan kampung nelayan Gunung Anyar Tambak, Surabaya, lokasinya tak jauh dari muara sungai yang membatasi wilayah Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo. Di sana terdapat hutan mangrove dan bakau yang terjaga kebersihannya. Perahu nelayan terlihat berjejer di pinggir sungai yang juga terlihat bersih. Berdekatan dari lokasi dermaga kecil nelayan, terdapat sebuah bangunan bertuliskan Bank Sampah Bintang Mangrove (BSBM). Kebersihan kawasan ini tak lepas dari keberadaan bank sampah tersebut yang antara lain digagas oleh Kusniyati.


Kusniyati mendirikan BSBM, sejak tahun 2012. Tapi ia sendiri sudah aktif di dunia lingkungan sejak 2010. Hanya saja saat itu konsentrasinya tidak hanya pada sampah tapi juga penyelamatan mangrove. Karena wilayah tempat tinggalnya memang tidak jauh dari kawasan mangrove, ia bisa melihat sendiri saat itu pertumbuhan mangrove tidak begitu baik. Karena di sekitar hutan mangrove penuh dengan sampah rumah tangga yang dibuang ke sungai dan akhirnya terbawa ke hutan mangrove. Kusniyati prihatin melihat kawasan mangrove dikotori dengan sampah plastik dan sampah rumah tangga. Akibatnya, lingkungan mangrove pun jadi terganggu, banyak mangrove yang ada di muara sungai itu mati karena sampah-sampah plastik yang menutupi batang pohon mangrove. Padahal, mangrove itu sangat penting untuk lingkungan pesisir agar tidak terjadi abrasi.

Selain itu, sungai yang ada di kawasan tempat tinggalnya, Gunung Anyar Tambak, juga menjadi kotor, bau, dan menjadi sarang nyamuk. Kusniyati mengakui, semua itu juga akibat ulah warga sendiri yang suka membuang sampah sembarangan. Selain di halaman-halaman kosong, mereka juga seringkali membuang sampah ke sungai yang melintas di depan rumah. Saat itu Kusniyati pun sudah mulai terjun untuk membersihkan sampah-sampah di kawasan mangrove. Kemudian pada tahun 2012, ia mendapat tawaran dari PLN yang tengah mengadakan Corporate Social Responsibility (CSR), apakah mau membuka bank sampah di kampungnya ? Tawaran itu pun langsung ia terima karena ia merasakan sendiri, makin lama kawasan kampungnya makin kotor. Dengan berdirinya bank sampah, ia berharap lingkungannya menjadi lebih bersih.

Kusniyati lalu mengumpulkan warga termasuk RT, RW, tokoh masyarakat, serta petugas yang mengurusi CSR PLN untuk berembug di rumahnya. Mereka membahas rencana berdirinya bank sampah. Bersama petugas dari PLN, Kusniyati menawarkan ide sekaligus dengan alasan-alasannya. Namun, saat itu warga sempat menolak. Mereka menganggap, konotasi bank sampah sangat buruk. Dikhawatirkan nantinya kampung mereka malah menjadi bau, jorok, dan sebagainya. Dengan sabar, Kusniyati meminta masyarakat untuk tidak terburu-buru menilai buruk, tapi mau untuk mencoba terlebih dahulu tawaran tersebut. Beruntung masyarakat pun akhirnya bersedia menerima. Mereka pun lalu membuat nama Bank Sampah Bintang Mangrove (BSBM).


Tapi baru berjalan beberapa saat, timbul masalah baru. Cerita bermula, setelah ada kesepakatan, PLN membuat  bangunan sederhana untuk tempat sampah, kemudian ditambah satu buah timbangan dan satu meja. Modal awal BSBM sebesar Rp 400.000 berasal dari Pak Lurah. Ternyata modal tersebut sudah habis dalam waktu dua minggu. Kemudian PLN memberikan tambahan modal sebesar Rp 2 juta, sehingga BSBM berjalan relatif lancar. Masalahnya adalah, di tengah jalan tiba-tiba pengurusnya mengundurkan diri satu per satu. Padahal awalnya mereka berlomba-lomba ingin menjadi pengurus. Rupanya, mereka menganggap akan mendapatkan gaji besar dari PLN. Padahal yang mereka lakukan ini adalah kerja sosial.

Karena tidak ada yang mau mengurusi lagi, Kusniyati pun lalu mengambil alih ketua BSBM. Saat ini, meski masih ada 7 orang pengurus yang masih bergabung, tapi yang benar-benar aktif mengelola hanya lima orang. Selain Kusniyati sendiri, salah satunya adalah sang suami, Kisbiyanto. Dengan berdirinya BSBM ini, warga tidak perlu membuang sampah ke sungai, tapi bisa menjualnya ke BSBM. Di BSBM sampah akan dipilah-pilah. Misalnya, botol plastik disatukan dengan botol, juga gelas plastik yang disatukan dengan benda sejenis. Masing-masing sampah tersebut ada nilainya. Sampah campur akan dihargai Rp 2.500 per kilogram. Sedangkan yang sudah dipilah harganya lebih tinggi yakni Rp 4.500 per kilogram, bahkan sampai Rp 7000. Sejak diberitahukan seperti itu, saat ini para warga pun sudah terampil memilah sampah.


Di sinilah bedanya BSBM dengan pengepul sampah. Bank sampah menerima semua berbagai jenis sampah. Dari mulai sampah plastik, kertas, bahkan sampah apa saja. Sementara bila pengepul sampah hanya menerima jenis sampah tertentu. Misalnya botol, gelas minuman mineral, atau kertas saja. Dan sampah-sampah yang sudah dikumpulkan itulah yang kemudian dijual ke pengepul sampah yang memang sudah siap menerima dari BSBM. Makin hari, jumlah nasabah BSBM pun makin bertambah. Bila saat pertama kali berdiri, nasabahnya hanya sembilan orang, saat ini sudah berkembang menjadi 186 orang. Bahkan, nasabah tidak hanya datang dari kampungnya saja, tetapi sudah meluas ke beberapa kampung lain.

Oleh warga, uang hasil penjualan sampah tersebut lalu dimanfaatkan untuk bermacam-macam kebutuhan. Sebagian besar untuk membayar listrik rumah serta untuk simpan pinjam. Dengan membayar listrik melalui BSBM, warga pun bisa berhemat. Mekanismenya, pengurus bank sampah yang akan membayarkan listrik rumah warga. Mereka juga yang akan menghitung berapa total biayanya. Biaya itu setara dengan berapa banyak sampah yang harus diserahkan kepada BSBM. Demikian pula dengan simpan pinjam. Begitu ada nasabah BSBM yang meminjam uang, makan akan dihitung berapa kilo sampah yang harus mereka kirimkan. Bagi kaum warga pinggiran yang mayoritas ekonomi menengah ke bawah, hal seperti ini sangatlah membantu.

Aksi yang dilakukan oleh Kusniyati ini pun telah berhasil memberikan dampak yang bagus buat lingkungan. Saat ini, meski belum semuanya, sebagian besar masyarakat sudah sadar akan kebersihan dan tidak lagi membuang sampah di sungai. Dampak lainnya, para warga pun sudah mau memunguti sampah plastik di sungai depan rumah, untuk kemudian menjualnya ke BSBM. Otomatis sampah yang ada di muara sungai pun berkurang, meski tidak bisa sepenuhnya. Selain itu, para nelayan juga semakin sadar lingkungan. Selain menangkap ikan, mereka juga terlibat mengumpulkan sampah plastik yang ditemukan di laut maupun muara sungai. Apalagi ketika sedang musim sepi ikan. Mereka pulang tidak membawa ikan, melainkan membawa sampah.

Kusniyati pun selalu memasukkan pesan kebersihan lingkungan setiap kali usai acara yasinan atau pengajian dengan warga. Setelah selesai acara keagamaan tersebut, biasanya ia akan mengadakan bincang-bincang ringan. Dan saat itulah ia memberitahu tentang isu lingkungan. Selain saat yasinan, ada lagi momen ketika ibu-ibu kampung selesai memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah di pagi hari. Setelah mengerjakan pekerjaan rumah, ibu-ibu biasanya berkumpul di tepi sungai, kadang ada yang sambil menyuapi anaknya. Kalau sudah kumpul seperti itu, biasanya mereka suka membicarakan apapun. Sambil ngerumpi itulah, tanpa mereka sadari pembicaraan Kusniyati arahkan ke soal kebersihan sungai dan lingkungan. Cara seperti ini menurut Kusniyati lebih efektif karena mereka bisa langsung menularkan kesadaran tentang lingkungan dari satu orang ke orang lainnya.
 
Selain itu, bersama pengurus BSBM Kusniyati juga punya cara lain agar hubungan dengan para nasabah terjalin dengan baik. Di antaranya kalau ada keluarga nasabah yang meninggal, mereka akan memberikan uang sumbangan. Demikian pula saat ada hajatan atau warga sakit. Mereka akan mengeluarkan dana meski jumlahnya tidak banyak. Setiap pengurus yang bekerja pada BSBM akan mendapatkan uang lelah Rp 50.000 per bulan. Dan saat ini mereka sedang mengusahakan untuk menaikkannya menjadi Rp 100.000 per bulan. Memang, pada dasarnya mereka tidak mengharapkan mendapat gaji, karena sudah menyadari bahwa pekerjaan mereka ini sifatnya sosial dan demi lingkungan.

Biasanya Kusniyati melakukan kegiatan di BSBM setelah pekerjaan di rumahnya selesai, termasuk mengurus anak-anaknya. Bersama pengurus yang lain ia akan berkumpul di BSBM untuk memilah sampah yang nantinya siap dijual. Biarpun usahanya itu telah berkembang dengan baik, PLN pun masih terus membantu. Bila diawal mereka memberikan bantuan sebesar Rp 2 juta, kini mereka memberikan tambahan lagi sebesar Rp 10 juta. Dan saat ini uang tersebut sudah berkembang menjadi Rp 20 juta. Hasil dari usaha tersebut dimanfaatkan untuk perawatan taman di sekitar lokasi BSBM, memperbaiki geladak perahu, memperbaiki jembatan kampung, biaya perawatan mangrove yang ada di muara, dan lain-lain.

Yang membahagiakan lagi, Kusniyati pun sempat tampil di acara Kick Andy yang ditayangkan Metro TV. Di acara itu usahanya bersama BSBM terpilih menjadi yang terbaik dari semua lembaga binaan PLN dan mendapatkan hadiah sebesar Rp 100 juta. Penilaian yang terbaik itu yang menentukan bukanlah PLN, tapi tim dari Kick Andy. Dan sampai saat ini Kusniyati pun masih terlibat untuk merawat mangrove. Paling tidak sebulan tiga kali ia bersama warga ke mangrove untuk bersih-bersih sampah. Bahkan saat ini PLN juga sudah memberikan bantuan berupa perahu baru beserta mesinnya, sebagai sarana transportasi untuk menyususi hutan mangrove di muara sungai.

Selain itu, Kusniyati juga sering diminta tampil di acara seminar yang bertemakan lingkungan. Di sana biasanya ia diminta untuk berbagi pengalaman tentang kisahnya memberdayakan masyarakat Gunung Anyar Tambak. Bahkan kampungnya juga sering menerima tamu dari luar negeri, seperti dari Filipina dan Malaysia. Mereka belajar tentang mangrove dan perawatannya. Yang juga membahagiakan, walikota Surabaya, Ibu Risma, juga pernah datang.

Menurut Kusniyati, kepeduliannya terhadap lingkungan sudah merupakan panggilan jiwa. Baginya, mengabdi untuk lingkungan adalah semata-mata ibadah. Suaminya sendiri, Kisbiyanto, yang sehari-hari bejualan es, dan kadang beralih menjadi tukang ketika jualannya sepi, juga ikut aktif membantu mengelola BSBM. Ke depannya, Kusniyati ingin BSBM bisa semakin berkembang dan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungannya juga semakin tinggi. Tangan kukuh Kusniyati tak akan berhenti berupaya agar kampung nelayan tempat ia tinggal selalu terlihat bersih. Ia juga ingin terus menyentuh hutan mangrove agar lingkungan kawasan itu tetap terjaga.

Komentar