Bagi Nugrahani
Widiyanti, hidup berdampingan dengan kanker bukan perkara mudah. Sejak divonis
mengidap kanker ovarium tahun 2008, Wiwid, begitu ia biasa dipanggil, tak lelah
berjuang agar tetap bisa menikmati hidup bersama keluarga tercinta. Semua
bermula saat perempuan kelahiran Malang, 31 Agustus 1961, ini merasa ada yang
tak beres dengan tubuhnya. Persisnya tahun 2008, saat ia hendak menunaikan
ibadah haji. Wiwid mengaku sedikit heran karena tidak mendapatkan tamu bulanan
cukup lama dan hanya mendapatkan vlek, padahal belum menginjak masa menopause.
Akhirnya, ia
pun melakukan pemeriksaan ke salah satu dokter kandungan. Saat itu hasil
diagnosa tidak menunjukkan ada yang bermasalah dalam tubuhnya. Tak puas, Wiwid
pun melakukan kroscek ke dokter kandungan lain. Diagnosa dokter kedua pun sama,
tak ada hasil yang menunjukkan tubuhnya bermasalah. Wiwid malah makin penasaran
karena merasa tubuhnya seperti memberikan sinyal ada yang tidak beres.
Akhirnya, ia coba periksa ke dokter kandungan ketiga di salah satu rumah sakit
swasta di Jakarta. Kebetulan, rumah sakit ini punya alat yang lebih canggih. Hasilnya,
ada tiga tumor di ovarium nenek tiga cucu ini.
Penasaran dan
tak langsung percaya begitu saja, Wiwid pun kembali mencoba mencari opini kedua
dari dokter lain. Ia memutuskan pergi ke dokter kandungan di rumah sakit swasta
lainnya di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan. Hasilnya cukup mengejutkan,
dokter bahkan langsung memintanya untuk operasi pengangkatan dan biopsi. Saat
itu, Wiwid mengaku tidak mau langsung dioperasi karena memang belum banyak info
yang ia ketahui. Ia masih berpikir itu sama seperti miom biasa, apalagi ia juga
banyak mendengar cerita yang intinya tidak apa-apa. Wiwid malah masih suka
pergi jalan-jalan kemana-mana. Sampai akhirnya, ia bercerita kepada ibunya di
Malang soal kondisinya. Lantas, keluarga banyak yang memintanya segera
mengambil tindakan.
Akhirnya,
setelah 6 bulan, Wiwid pun siap untuk operasi. Saat itu ia hanya bisa pasrah
dan meminta kesembuhan begitu tumor yang ada di tubuhnya diangkat. Setelah
operasi, ibu dua anak ini diminta bersabar menunggu sebulan untuk melihat hasil
tumor yang telah diangkat. Sebulan setelah operasi, ia kontrol didampingi
suami. Dan itu menjadi kenangan yang tidak mudah ia lupakan. Meski, dokter
mencoba menjelaskan dengan hati-hati, namun ia tetap syok saat mendengar bahwa
ternyata dirinya mengidap kanker ovarium stadium 3B. Mendengar kata kanker saja
sudah membuatnya takut dan cemas, apalagi mendapat vonis stadium 3b. Kalau
mengingat itu, perasaan Wiwid tidak karuan. Untungnya saat itu ia didampingi
suami. Suaminya sangat mendukung dan menguatkannya.
Sesuai anjuran
dokter, Wiwid pun mulai menjalani pengobatan. Diawali kemoterapi sebanyak enam
kali. Semua energi positif datang dari dukungan suami, anak-anak, serta
keluarganya. Akhirnya, ia mampu menganggap ini merupakan teguran untuknya agar
bisa menjadi lebih baik. Semuanya ia jalani dengan pasrah dan niat untuk
menyembuhkan. Dan akhirnya, ia pun memang bisa menjalani enam kali kemoterapi.
Wiwid mencoba menikmati hidup dengan mencari kesibukan dan kegiatan lain yang
selama ini tidak pernah ia lakukan. Begitu sakit, ia putuskan untuk tidak
bekerja lagi. Ia ingin istirahat, banyak waktu dengan keluarga, aktif di
pengajian, dan trip ke luar negeri. Sebisa mungkin ia mengerjakan apa yang
selama ini tidak pernah ia lakukan.
Selang dua
tahun tepatnya tahun 2010, wanita yang sebelumnya bekerja sebagai perias ini,
sudah mulai bisa menerima keadaan dan berdamai dengan dirinya. Sayang, di saat
itu pula ia mendapat kabar bahwa kanker ovariumnya kembali kambuh. Wiwid pun
sempat down kembali karena pikiran
negatif kembali datang. Mengapa dirinya yang harus terkena penyakit ini ? Namun
sekali lagi, istri dari Widjadi Nugroho
ini kembali mendapatkan dukungan dari keluarga besarnya. Wiwid bersyukur
memiliki suami yang luar biasa. Karena kalau bukan karena suaminya, ia tidak
tahu lagi akan seperti apa. Akhirnya, ia pergi ke salah satu dokter di kawasan
Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang dikenal bagus untuk penyakit kanker. Saat
periksa, ia kembali diminta untuk melakukan kemoterapi.
Wiwid pun juga
mencoba berbagai pengobatan alternatif untuk melawan kanker yang dideritanya.
Semua pengobatan sepertinya sudah ia coba. Bahkan, ia pernah datang berobat
pukul 2 pagi, sementara pengobatan baru dimulai pukul 6 pagi, saking panjangnya
antrian. Ada juga dokter yang menyarankannya supaya tidak makan nasi dan hanya
makan sayuran segar. Semangat Wiwid untuk mengalahkan kanker memang tak pernah
surut. Sayangnya, kesabarannya kembali diuji. Ketakutannya semakin besar dan
ini menjadi titik terendah dalam hidupnya. Dua kali kambuh itu rasanya membuat
kepercayaan dirinya semakin menurun.
Terbujuk
melihat testimoni keberhasilan pengobatan di Tiongkok, Wiwid pun memutuskan mencoba.
Waktu itu pikirannya kacau, oleh karena itu berobat kemana pun ia jalani asal
bisa berhasil. Saat itu ia sudah habis-habisan, baik tenaga maupun biaya.
Untungnya, suaminya selalu menyabarkannya dan meyakinkan bahwa uang bisa dicari
dan tak jadi soal. Wiwid pun terpaksa harus menjual beberapa asetnya untuk
biaya pengobatan. Namun, Wiwid kembali harus menelan pil pahit. Pengobatannya
di Tiongkok ternyata tak menampakkan hasil. Kondisi Wiwid pun semakin terpuruk
karena merasa gagal. Ia kehilangan semangat.
Dalam kondisi
yang terus menurun, Wiwid bertemu salah satu teman yang memintanya untuk
menghubungi pengurus komunitas Cancer Information & Support Cancer (CISC).
Dan ternyata, Wiwid merasa Tuhan masih menyayangi dirinya. Di saat ia semakin
tak berdaya, ia berkenalan dengan Sri dari CISC yang aktif memberikan banyak
informasi dan menyemangatinya. Kepada Sri, ia bisa curhat panjang lebar dan
tidak minder lagi setiap kali bertemu teman. Pikirannya kembali positif, karena
ia bisa bertemu keluarga baru di CISC. Semangat hidup Wiwid pun kembali
menyala. Ia juga banyak belajar dari beberapa survivor yang ada di CISC. CISC boleh dibilang menjadi rumah
keduanya. Di sana ia diajarkan berpikiran positif dan saling memberi dukungan.
Banyak kegiatan yang dilakukan CISC, mulai hipnoterapi atau berkesenian.
Bahkan, sang suami pun turut merasakan perubahan yang baik, karena Wiwid jadi
lebih positif.
Wiwid semakin
menyadari bahwa ia memang tak boleh patah semangat dan menyerah menghadapi
kanker yang dideritanya. Karena bila ia gembira, enzim untuk menyembuhkan yang
ada di tubuh bisa membantu. Sebaliknya, kalau ia sedih terus, justru akan
membuat semakin sakit. Dan tanpa ia sadari, selama ia menjaga pola makan dan
berpikiran baik serta kontrol rutin, ia merasa sehat. Berat badannya juga naik.
Padahal dulunya ia kurus, kuyu, dan drop.
Keadaannya yang sekarang jauh berbeda. Usai jatuh bangun melawan penyakitnya,
Wiwid akhirnya menemukan formula yang tepat. Kuncinya adalah bahagia.
Berpikiran positif, yakin dan percaya bahwa penyakit itu ada obatnya. Pantang
menyerah dan mengubah semua hal negatif menjadi positif. Jangan lupa kontrol,
dan menjaga pola hidup sehat. Hasilnya, kini Wiwid pun semakin menikmati hidup
dan terus bisa mengucapkan syukur.
Komentar
Posting Komentar