Di sekolah berkonsep multikultural, yang menjadi fokus utama adalah pendidikan bertoleransi dalam menghargai perbedaan budaya antara satu siswa dengan siswa lainnya. Perbedaan budaya ini bukan semata-mata dilihat dari unsur ras, agama, atau adat semata, melainkan juga menyangkut pola hidup dan kebiasaan yang dijalankan setiap siswa sehari-hari, baik di rumah maupun luar. Termasuk pola pikir, pendapat tentang suatu hal, cara makan dan berjalan, dan sebagainya. Ada siswa yang di rumah terbiasa makan dengan tangan, ada yang terbiasa dengan pisau dan garpu. Itu adalah bagian dari budaya. Setiap siswa dan guru harus menghargai perbedaan-perbedaan itu, tidak boleh saling memaksakan. Karena masing-masing siswa memang mempunyai kebiasaan yang berbeda di rumahnya.
Siswa tidak
diajarkan bahwa kebiasaan yang berbeda dari kebiasaannya adalah buruk dan yang
sama dengannya adalah baik, melainkan lebih ke soal kebiasaan yang dipilih.
Selain itu, siswa juga diajarkan menerima perbedaan sebagai hal yang positif
dan mengambil manfaat positif dari perbedaan itu. Misalnya, ada siswa yang
terbiasa melihat orangtuanya merokok di rumah, sedangkan siswa lain tidak
menemukan kebiasaan itu di rumahnya. Maka, sekolah akan mengajak siswa untuk
saling menghargai kebiasaan orang lain. Dengan mengutamakan pendidikan
multibudaya, ketika datang siswa baru, guru biasanya akan bertanya lebih dulu
apa saja kebiasaan dalam keluarga siswa yang boleh dan tidak untuk dilakukan,
dan kebiasaan yang disukai atau tidak oleh siswa. Sehingga, kesalahan dalam
mengenalkan kebudayaan dan kebiasaan siswa yang bersangkutan di kelas bisa
dihindari.
Biasanya,
siswa sekolah ini berasal dari berbagai negara dengan membawa budaya yang
berbeda-beda. Perbedaan ini justru memperkaya materi pendidikan di sekolah dan
pengalaman para siswa. Mereka harus menyadari bahwa memang berbeda, tapi itu harus
diterima dengan baik. Siswa yang beragama Islam misalnya, diberi kesempatan
sholat Jumat, dan siswa beragama lain juga diberi kesempatan beribadah. Untuk
bisa menerima budaya satu sama lain, siswa juga mempelajari sejarah dan budaya
negara teman-teman sekelasnya dengan cara yang menyenangkan. Di samping pelajaran
utama, karena berada di Indonesia, maka
siswa pun juga diberi pelajaran tentang Indonesia, mulai dari sejarah,
pemerintahan, dan sebagainya. Selain itu, sekolah seringkali mengadakan
acara-acara yang bertujuan lebih mengenalkan budaya para siswanya sepanjang
tahun.
Di Jakarta
International Multicultural School sendiri, ada acara UN Day, di mana 15 kelas
yang ada mulai dari tingkat toddler
sampai SMA, masing-masing disulap menjadi satu booth. Di setiap booth
itu, para orangtua siswa yang berasal dari satu negara tertentu akan menggelar
beragam acara menarik. Misalnya, booth
Jepang diisi oleh para ibu dari Jepang yang mengenakan yukata sambil mengajari
cara membuat sushi. Rombongan para siswa yang masing-masing mengenakan pakaian
adatnya akan mendatangi dari satu booth
ke booth lain untuk mempelajari
beragam budaya yang digelar.
Dengan
dibekali pendidikan bertoleransi yang tinggi, siswa bisa menerima hal baru atau
berbeda dengan mudah karena pola pikir mereka lebih terbuka. Mereka juga mudah
hidup dan beradaptasi dengan baik dengan budaya mana pun di dunia. Sehingga,
ketika mereka pindah tempat tinggal ke negara lain, budaya yang berlaku di
negara baru bisa diterimanya dengan mudah. Tak heran, ketika kelas mendapat
siswa baru, para siswa menyambut dengan semangat dan tak sabar untuk mengetahui
budayanya.
Komentar
Posting Komentar