Menjadi perancang busana adalah cita-cita Viva Westi ketika remaja. Namun, setamat kuliah ia justru menjadi sutradara. Semua bermula ketika ia berkenalan dengan sutradara senior, Garin Nugroho. Ibarat cerita klise, Westi bertemu Garin tahun 1991 ketika sedang menunggu jadwal tayang film di bioskop Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Saat itu, nama Garin tengah meroket ketika film Cinta Dalam Sepotong Roti mencuri perhatian khalayak. Pertemuan tersebut lalu berbuah ajakan untuk ikut terlibat syuting film yang digarap Garin dan tim-nya di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Westi didapuk melakoni peran pembantu di film Surat Untuk Bidadari. Di sana ia pertama kali bertemu dengan Jajang C. Noer, Adi Kurdi, Nurul Arifin, dan Monica Oemardi. Di sana Westi merasakan pengalaman syuting yang luar biasa. Ia melihat seluruh cara kerjanya dan banyak mengobrol dengan kru dan pemain yang terlibat. Perempuan berdarah Minang ini pun merasa bekerja di industri film itu sangat seru.
Pulang dari
Sumba, Westi pun memutuskan mengubah haluan hidupnya. Apalagi sutradara kawakan
mendiang Teguh Karya juga melirik aktingnya dalam film perdananya itu, kemudian
mengajaknya untuk ikut andil di sebuah FTV berjudul Indonesia Berbisik. Kemudian berlanjut lagi dengan ajakan untuk
berperan dalam Suro Buldog arahan
Slamet Rahardjo. Meski kondisi perfilman Indonesia saat itu mati suri, Westi tetap
optimis. Justru saat itu stasiun teve swasta mulai tumbuh, dan banyak
menayangkan snetron dan FTV. Artinya, kariernya kemudian banyak ditempa di
beberapa judul FTV dan sinetron.
Namun,
lama-lama Westi menyadari dirinya tak cukup berbakat menjadi pemain, meski
aktingnya di film Surat Untuk Bidadari
diganjar penghargaan dalam Kine Club Festival. Mungkin juga karena Westi merasa
sifatnya yang suka mengatur, maka dirinya merasa lebih cocok bila menjadi
sutradara. Kemudian, ia pun mendaftar kuliah di bidang penyutradaraan di
Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sembari kuliah ia menelurkan skenario untuk sinetron
Malam Pertama dan Virgin The Series. Pengalaman
mengajarkan segalanya bagi setiap orang. Termasuk Westi yang kembali bekerja
sama dengan Garin dalam film Aku Ingin
Menciummu Sekali Saja, yang berlanjut dengan film Serambi (2006), bersama Lianto Luseno dan Toni Trimarsanto. Ia juga
menikmati tugas sebagai asisten sutradara bersama Enison Sinaro, Maruli Ara,
dan sebagainya. Menurut Westi, bisa tahu seperti apa rasanya menjadi asisten
sutradara sangat menyenangkan. Jadi, bila sekarang ia menjadi sutradara, memang
telah melewati semua tahapan, mulai dari penata skrip. Semuanya sangat ia
nikmati.
Selanjutnya
bisa ditebak, Westi mulai aktif berkecimpung di bidang penyutradaraan. Tren
film horor juga membuatnya tertarik menggarap Suster Ngesot The Movie (2007), dan Pocong Keliling (2010). Juga FTV tentang perbedaan ras yang lahir
dari tangannya, Wo Ai Ni Indonesia
atau Jangan Panggil Aku Cina. Namun yang
paling berkesan baginya adalah saat membuat film May (2008) dan Soedirman
(2015). Film May mengambil peristiwa kerusuhan
Mei 1998 sebagai latar belakang ceritanya. Film ini menjadi berkesan karena
Westi harus melakukan proses casting yang
sulit, demikian pula dengan risetnya. Karena semua narasumber yang saat itu ia
temui, sangat tertutup. Intinya, memang tidak mudah mengembalikan ingatan
tentang hal-hal yang tidak menyenangkan. Namun film ini pada akhirnya berhasil
meraih 11 nominasi dalam Festival Film Indonesia 2008.
Sedangkan
untuk film Soedirman, Westi menyebutnya
sebagai film yang tersulit. Selain karena bercerita tentang perang dan kolosal,
selama syuting 45 hari ia dan seluruh kru maupun pemain harus naik turun gunung
dengan cuaca yang ekstrem. Syutingnya pun berpindah lokasi dari Bandung,
Yogyakarta, Situ Lembang, dan Wonosari di Gunung Kidul. Baginya, itu sangat
menguras stamina dan perlu fisik yang kuat. Beruntung, selain peralatan dan
pendanaan film itu didukung penuh oleh Yayasan Eka Paksi, Westi juga mendapat
pemain figuran istimewa dari prajurit TNI. Karena memang dasarnya tentara,
mereka pun sudah tahu benar cara memegang senjata, dan tidak masalah saat
syuting keluar masuk hutan, serta tahan dengan segala cuaca. Ketangkasan mereka
di lapangan sedikit banyak meringankan pekerjaaannya. Westi pun bersyukur
mendapatkan kemudahan itu.
Setelah film Soedirman rampung, Westi pun langsung
berancang-ancang membuat film berikutnya, Dewi
Sartika. Menurut Westi, jika seorang sutradara selalu berpikir mau membuat
film apa lagi ? Artinya secara hati ia sudah merasa sejahtera. Dari
pekerjaannya sebagai sutradara, bila dilihat dari segi materi, Westi merasa cukup
mampu membiayai hidupnya dengan baik, meski tidak harus punya segalanya.
Membuat film, ia analogikan membuat sesuatu yang belum ada menjadi ada. Dimulai
dari timbulnya ide, diskusi, mencari data, riset, syuting, menjadi film, hingga
akhirnya dinikmati penonton. Ini merupakan sesuatu yang tiada duanya. Ada
kebahagiaan yang Westi rasakan dari situ. Karena hidup di dunia hanya sebentar,
maka kalau pembuat filmnya sudah meninggal, masih ada karya yang bisa ditonton
kapan saja.
Apa yang
dilakoni Westi dan kecintaannya sebagai sutradara pun ia akui tak luput dari
dukungan keluarganya. Terutama sang putra, Damar Bintang. Orang tuanya pun
selalu men-support dirinya dengan
luar biasa. Apalagi anak-anaknya juga sudah memahami pekerjaan ibunya. Namun
sayangnya, tidak ada anaknya yang tetarik untuk mengikuti jejak sang ibu.
Semoga selalu sukses ya bu westi.good job
BalasHapus