YAYASAN ADVOKASI SADAR AUTISME SURABAYA : Menyuarakan Hak-Hak Penyandang Autis Kepada Pemerintah.


Yayasan Advokasi Sadar Autisme Surabaya (ASA Surabaya) didirikan tahun 2011 oleh Oky Mia Octaviany. Oky mendirikan lembaga sosial ini berawal dari adanya kejadian yang melibatkan anak seorang temannya yang kebetulan menderita autisma. Ceritanya, suatu ketika temannya tersebut mengajak anaknya ke sebuah toko sport di Surabaya. Di dalam toko, anak tersebut mencoba-coba kaus basket pilihannya. Kemudian masih dalam keadaan dipakai, anak tersebut keluar dari kamar pas dan menunjukkan kepada ibunya. Saat itu oleh petugas toko, anak itu dikira mencuri bahkan sampai dibawa ke petugas keamanan. Walau sang teman sudah berusaha meyakinkan kalau anaknya penyandang autisma, tetapi security tidak percaya. Mereka tidak mengerti perilaku anak autisma, sebab secara fisik mereka biasa saja. Anak temannya itu baru dibebaskan setelah diminta membayar 10 kali lipat dari harga barang.

Dari kejadian tersebut, Oky bersama teman-temannya yang memiliki anak penyandang autisma lantas mendirikan ASA Surabaya. Tujuannya untk menyuarakan hak-hak penyandang autis kepada pemerintah, sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat umum serta sebagai wadah saling curhat sesama orangtua yang memiliki anak penyandang autisma. Menurut Oky, menyuarakan hak-hak penyandang autisma pada pemerintah sangat penting, mengingat belum ada aturan khusus yang mewadahi penyandang autisma apabila terjadi kasus hukum. Selama ini kalau penyandang autisma terjerat kasus hukum, pihak berwajib membebaskan, tetapi si anak tersebut disetarakan dengan anak yang mengalami gangguan jiwa. Padahal, penyandang autisma bukan gangguan jiwa. Mereka tidak pernah memikirkan kalau berbuat seperti ini maka dampaknya demikian.

Oky Mia Octaviany
Oky sendiri mengalami saat-saat berat dalam kehidupannya sebagai ibu, ketika anak sulungnya Chavy Hanantoseno, divonis menyandang autisma waktu berusia dua tahun. Tidak bisa dibayangkan betapa syoknya dirinya pada saat itu. Pikirannya campur aduk tak karuan. Kisah memilukan itu sampai saat ini tak bisa ia lupakan. Merasa kurang percaya dengan diagnosa sang psikiater, Oky sempat mendatangi psikiater lain untuk mendapat second opinion. Ia berharap vonis itu salah. Tapi akhirnya dia harus pasrah saat psikiater kedua pun mendiagnosa sama.

Menurut Oky, pada saat itu autisma masih jarang dan belum sepopuler sekarang, sehingga informasi yang didapat masih sangat sedikit. Bila ingin mencari informasi soal autis cukup susah. Bahkan dulu pemeriksaan darah saja harus dikirim ke Amerika dengan biaya sangat mahal, karena laboratorium di Indonesia belum mampu. Sejak itu suasana rumah tangga perempuan yang berprofesi sebagai desainer ini, terasa cukup sulit. Kadang tidak ada masalah apa-apa, si anak bisa membentur-benturkan kepala, atau tanpa ada sebab tiba-tiba menangis sekencang-kencangnya. Memang, tak bisa dipungkiri ketika seorang anak didiagnosa autis, tak jarang kehidupan rumah tangga kedua orangtuanya ikut bermasalah. Saling menyalahkan bahkan sampai ada yang berujung pada perceraian. Karena itu, ketika seorang anak didiagnosa autis, seharusnya kedua orangtua bisa kompak, bahu membahu mencari jalan penyelesaian.


Ternyata cobaan yang dialami Oky tak berhenti sampai di situ. Beberapa tahun kemudian, istri dari seorang bankir, Banyon Anantaseno ini hamil anak kedua. Awalnya dia sempat trauma, khawatir anak keduanya akan seperti kakaknya. Tapi perasaan itu Oky buang jauh-jauh dan mencoba berpikir positif saja, sampai akhirnya anak keduanya lahir sehat. Kelahiran putra kedua yang diberi nama Ravly Destareza membuat Oky merasa lebih bahagia. Tapi, apa yang dikhawatirkan Oky akhirnya terjadi. Namun, berbeda denga autisma yang dialami anak pertama, autis anak keduanya tersebut akibat kecerobohan dokter. Karena curiga, kemudian Oky membawa buah hatinya itu ke psikiater. Dan bibirnya pun langsung tercekat ketika psikiater menyatakan bahwa anak keduanya juga terdiagnosa autis. Tak ada pilihan, Oky hanya bisa pasrah pada yang Kuasa. Tentu saja hari-hari Oky bersama suami terasa makin berat. Pasalnya, merawat anak penyandang autisma harus ekstra perhatian termasuk dari sisi keuangan. Ada istilah, pengeluaran satu anak autis sama dengan lima anak normal. Mulai makanan sampai perawatan pasti berbeda.

Kini Oky selalu berusaha menyelipkan edukasi tentang autis setiap kali tampil berbicara di berbagai kesempatan. Baginya, itu sangat penting, sebab belum banyak orang yang mengerti tentang autisma termasuk ciri-cirinya. ASA Surabaya yang kini beranggotakan sekitar 50 orangtua penyandang autisma bisa saling curhat atau berbagi pengalaman. Oky kembali menegaskan, bahwa anak penyandang autis itu beda dengan anak penderita penyakit lain yang antara satu dengan lainnya gangguannya bisa saja sama. Tapi spektrum antar anak autis bisa berbeda. 

Komentar