SEKOLAH PEREMPUAN DI GRESIK, Memberdayakan Perempuan Miskin Agar Semakin Melek Ilmu.


Menuntut ilmu tak kenal usia dan latar belakang. Contohnya Sekolah Perempuan yang ada di empat desa di Kecamatan Wringinanom, Gresik, Jawa Timur ini. Sekolah Perempuan bukan seperti sekolah formal pada umumnya, melainkan sebuah sekolah alternatif bagi perempuan segala umur dengan menggunakan pendekatan long life education. Para siswa Sekolah Perempuan adalah perempuan miskin desa setempat, yang rata-rata bekerja sebagai buruh tani dan pekerja kasar. Materi yang diberikan seputar dunia perempuan, mulai hak-hak sebagai perempuan di tengah keluarga, konsep gender, kepemimpinan perempuan, dan pemberdayaan ekonomi keluarga.

Melihat kegiatan ibu-ibu di Sekolah Perempuan memang amat membanggakan. Meski dengan latar belakang ekonomi yang pas-pasan, mereka sangat haus akan pengetahuan. Mereka rela meninggalkan pekerjaan beberapa saat sebagai buruh demi belajar. Tak masalah harus kehilangan upah Rp 35.000, asalkan bisa menuntut ilmu dan berkumpul dengan teman-teman di Sekolah Perempuan. Lagipula, Sekolah Perempuan juga hanya diadakan dua minggu sekali. Satumi, adalah salah satu murid Sekolah Perempuan, yang hanya tamatan SD. Ibu seorang anak ini mengaku mengikuti Sekolah Perempuan atas seizin suaminya, Slamet Rifai, yang bekerja sebagai kuli bangunan. Satumi bahkan saat ini sudah bisa menularkan pengetahuan yang dimiliki kepada ibu-ibu lainnya. Saat ini ia dipercaya menjadi fasilitator (pemateri) untuk Sekolah Perempuan yang ada di dusun. Satumi pun bangga pada suaminya karena memberi kebebasan baginya untuk menimba ilmu meski harus kehilangan sebagian pendapatan. Yang penting pekerjaan rumah sudah beres.


Tak hanya Satumi, anggota Sekolah Perempuan lainnya, Lilik Indrawati, bahkan sempat dipanggil untuk ikut terlibat dalam rapat pembahasan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Desa di Pemkab Gresik, karena kecakapannya. Ibu satu anak bertubuh mungil ini mengaku sangat bangga bisa berbicara dan duduk bersama para pejabat pemerintahan kabupaten Gresik membahas rencana pembangunan. Perempuan tamatan SMP ini mengaku, meski sempat gemetar, toh akhirnya ia mampu menguasai keadaan dan lancar berbicara. Di forum resmi tersebut, Lilik mengusulkan agar pemerintah kabupaten mengalokasikan dana pembangunan fasilitas persalinan di setiap desa, penyaluran bantuan yang tepat sasaran bagi masyarakat miskin, sampai pemeriksaan kesehatan kewanitaan secara cuma-cuma. Saat itu, kata Lilik, pimpinan rapat sempat mengguyoninya, 'kecil-kecil banyak usulannya'. Ada kejadian lucu saat Lilik datang di hari pertama Musrenbang. Beberapa anggota LSM mengira kehadirannya sebagai settingan. Lilik yang memang datang dengan pakaian sederhana dan hanya bersandal jepit dikira hanya pura-pura agar terlihat sederhana. Padahal kehadirannya di rapat itu memang tidak dibuat-buat, karena yang ia punya memang hanya sandal jepit.

Salah satu kendala yang dihadapi para perempuan yang ikut Sekolah Perempuan adalah tentangan yang dilakukan para suami. Para suami biasanya menganggap Sekolah Perempuan tidak memberikan manfaat secara ekonomi bagi keluarga. Namun, untuk soal ini Lilik punya strategi sendiri menghadapi sang suami, Siswanto, supaya mengizinkannya mengikuti Sekolah Perempuan. Dengan lemah lembut dan merendah, Lilik merayu sekaligus menjelaskan manfaat mengikuti Sekolah Perempuan. Akhirnya, suaminya yang awalnya kurang setuju, hatinya pun luluh. Setiap selesai melakukan kegiatan, Lilik juga tak lupa bercerita apa saja yang ia pelajari di Sekolah Perempuan. Dan sang suami pun makin bangga ketika Lilik ikut Musrenbang di kabupaten dan fotonya sempat muncul di media massa.

Penggagas berdirinya Sekolah Perempuan, adalah Iva Hasanah, Awalnya ia mendirikan LSM khusus pemberdayaan perempuan bernama Kelompok Perempuan dan Sumber-Sumber Kehidupan (KPS2K), bersama Rumi Handayani yang menjabat sebagai Manager Officer sejak tahun 2005 di Surabaya. Mereka berdua lalu mendirikan Sekolah Perempuan di Kecamatan Wringinanom, Gresik, pada 2013 dengan pertimbangan letaknya yang tak jauh di Surabaya dan merupakan jantung kota Gresik, tapi ternyata memiliki tingkat kemiskinan yang sangat tinggi, khususnya bagi perempuan. Bahkan, Gresik masuk dalam salah satu kantong kemiskinan di Jawa Timur. Contohnya, banyaknya pekerja perempuan dengan upah rendah, banyak perempuan berpendidikan rendah, kesehatan kewanitaan buruk, banyaknya perempuan korban kekerasan, banyaknya perempuan menjadi kepala rumah tangga, perempuan dengan usia perkawinan dini, juga perempuan yang drop out dari sekolah. Jadi, Iva memetakan, di sana tidak sekedar miskin, tetapi kemiskinan itu lebih banyak menimpa perempuan.

Setelah mengetahui petanya, bersama Rumi, Iva pun bergerilya masuk dari satu rumah ke rumah warga miskin. Bukan pekerjaan mudah bagi keduanya mengajak warga kurang mampu untuk belajar bersama. Awalnya para warga yang ditemui menolak, karena bagi mereka konsep sekolah itu identik dengan sesuatu yang sulit dan harus menerima pelajaran layaknya anak sekolah. Namun, setelah diberi penjelasan bahwa yang dimaksud sekolah di sini bukan seperti layaknya anak sekolah, barulah mereka memahami dan mau menerima. Awalnya, jumlah siswa hanya lima orang ibu dan mengambil tempat di rumah salah seorang warga. Saat berkumpul, mereka diberi materi yang mudah dipahami. Meski membahas soal hak asasi perempuan di tengah keluarga, misalnya, penyampaiannya harus dengan bahasa yang mudah dicerna sebab latar belakang pendidikan sebagian besar ibu hanya tingkat SD. Setelah kelima siswa ini merasa nyaman, baru mereka mengajak temannya yang lain dengan latar belakang yang tidak jauh berbeda. Demikian seterusnya sampai akhirnya sekarang berkembang menjadi 700 orang lebih yang tersebar di 19 dusun di 4 desa, yaitu Sooko, Kesamben Kulon, Mondoluku, dan Sumber Gede.


Bagi Iva maupun Rumi, kemiskinan sebenarnya tak hanya menurunkan kualitas hidup secara materi belaka, tetapi juga secara psikologi. Kemiskinan membuat perempuan menjadi rendah diri dan tidak memiliki nilai tawar. Salah satu contoh, saat perangkat desa datang ke rumah untuk menagih iuran kampung, ibu-ibu yang tidak punya uang ketakutan. Buntutnya mereka rela hutang kesana kemari. Namun sekarang tidak lagi. Mereka yang aktif di Sekolah Perempuan bisa bernegosiasi, misalnya janji kapan bisa melunasi. Dulu, jangankan ke kantor kabupaten, ke balai desa saja bisa dihitung dengan jari. Itupun ketika mau menerima bantuan. Sekarang kondisinya berbalik, sebagian besar aktivitas mereka dilakukan di kantor desa.

Untuk mengikis rasa rendah diri, para ibu yang tidak biasa memegang pensil itu dirayu, diberi kepercayaan untuk membuat gambar dirinya serta anggota keluarganya, sekaligus menuliskan data pribadi masing-masing, mulai alamat dan tempat tanggal lahir. Awalnya memang susah, bahkan memegang pensil saja mereka tidak mau. Tapi setelah dibesarkan hatinya, mereka akhirnya bersedia. Tidak masalah bagaimana gambarnya. Beberapa bulan berikutnya, gambar-gambar tersebut ditunjukkan lagi kepada mereka. Biasanya mereka terperanjat, karena kemampuan mereka sudah berkembang.


Saat ini, anggota Sekolah Perempuan juga sudah mulai diajak berembuk oleh kepala desa apabila ada kegiatan. Selain materi tentang hak-hak perempuan, juga materi tentang pemberdayaan ekonomi, mulai digiatkannya bank sampah, sampai dibentuknya simpan pinjam untuk memangkas mata rantai rentenir yang setiap hari keluar masuk kampung. Kini, seiring perkembangan jumlah anggota Sekolah Perempuan, pengajaran dilakukan berjenjang. Di setiap dusun, dibentuk Kelompok Belajar Komunitas (KBK), sementara mereka yang kecakapannya di atas rata-rata diikutkan kelas Sekolah Perempuan Desa (SPD). Awalnya, semua materi langsung diajarkan oleh Iva dan Rumi. Tapi setelah sistem berjalan, para siswa SPD mengajar teman-temannya di KBK, meski ada seorang tenaga pengawas yang tetap mengawasi aktivitas mereka. Iva pun telah menunjuk Isti yang tinggal di lokasi sebagai staf capacity building yang mengawasi kegiatan para anggota Sekolah Perempuan.

Selain membentuk lembaga pemberdayaan ekonomi, Sekolah Perempuan juga mengadakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kapasitas para perempuan desa, termasuk radio komunitas dan kelompok seni. Penyiar radio komunitas ini adalah anggota Sekolah Perempuan, yang materinya masih soal pemberdayaan perempuan.







Komentar