HOBBY : BERCOCOK TANAM DENGAN METODE HIDROPONIK


Menanam tanaman darat di air semula nyaris mustahil bagi Suminah. Namun rasa penasarannya itu malah justru membuat wanita dari Ngabul, Jepara ini tertarik pada bercocok tanam dengan metode hidroponik. Di awal tahun 2016, Ina, begitu ia biasa di sapa mulai mengumpulkan informasi di dunia maya dan juga bergabung dengan komunitas hidroponik untuk mendapat beragam informasi mengenai hobi barunya ini. Setelah cukup mengetahui, ia mulai mempraktikkan dengan memanfaatkan barang-barang bekas pakai sebagai media tanam. Mulai dari botol mineral, ember bekas cat, hingga stoples tak terpakai ia gunakan. Ina yang bekerja di perusahaan furnitur ini juga memanfaatkan limbah busa di perusahaannya. Sayuran seperti sawi, menurutnya, sangat pas dengan media busa. Sementara, untuk tanaman yang lebih besar seperti lemon, ia menambah busanya dengan pecahan genting agar bisa menopang tanaman.

Ina menempatkan 'kebun hidroponik'nya di balkon lantai dua rumahnya. Ada beragam tanaman di sana. Mulai dari sayuran seperti sawi pakcoy, selada, kale, seledri, daun bawang, kangkung, tomat, paprika, hingga buah seperti stroberi dan beberapa tanaman herbal, semisal mint, rosemary, lemon, sampai basil. Bahkan, Ina juga menanam bunga-bungaan dengan metode ini. Ina menceritakan, kebun hidroponik rumahan yang ia miliki telah bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Beberapa jenis sayuran yang ia tanam, seperti paprika dan daun mint, menurutnya, sangat jarang tersedia di pasar yang ada di dekat rumahnya. Jadi, bila sewaktu-waktu ia butuh, bisa mengambilnya dari tanaman sendiri. Dan rasanya lebih segar dibandingkan penanaman biasa. 


Berhidroponik juga lebih mengajarkan Ina untuk menghargai setiap makanan yang ia konsumsi. Pengalaman mengamati tumbuh kembang tanaman dari biji hingga menjadi sayuran siap panen terasa sangat menyenangkan. Sebagai petani rumahan, Ina pun juga harus menghadapi hama. Biasanya ia menggunakan pestisida nabati untuk membasminya. Ia biasa membuat cairan endaman air tembakau atau daun pahit untuk disemprotkan pada hama tanaman.

Selain Ina, ketertarikan bercocok tanam secara hidroponik juga melanda Derayani. Awalnya,berbagai jenis tanaman hidroponik hanya bisa ia temui pada pameran tahunan Flona di Lapangan Banteng, Jakarta. Namun, menurutnya, belakangan makin banyak toko-toko yang menjual alat dan kebutuhan tanaman hidroponik. Dan nampaknya saat ini memang makin banyak orang yang menyukai bercocok tanam dengan metode tersebut. Dede, begitu sapaannya, sering melihat instalasi hidroponik dari paralon yang berliku-liku, mulai dari ukuran kecil hingga sedang, menghiasai teras dan samping rumah. Terlihat praktis, bersih, dan modern. Itulah yang membuat penggemar masakan oriental ini jatuh cinta.


Sejak akhir tahun 2015, Dede pun telah memiliki sebuah instalasi ukuran kecil, yang merupakan hadiah ulang tahun dari suaminya. Menurut wanita yang tinggal di Gandul, Cinere ini, sistem hidroponik yang ia terapkan adalah NFT (nutrient film technique). Yakni, tanaman dialiri air yang sudah dicampur pupuk. Tak heran bila tanaman pokcoy, bokcoy, hingga parenya tumbuh sehat dan segar.

Tertarik pada foto-foto soal hidroponik di media sosial, membawa Tri Wahyuni memulai bercocok tanam dengan cara yang sama. Medianya yang mudah dan tak membutuhkan banyak lahan membuat Yuni semakin kepincut. Awalnya ia mempelajari dari internet, terutama Youtube. Dan sampai saat ini Yuni pun masih selalu browsing untuk mencari informasi selanjutnya tentang hidroponik. Yuni membuat instalasi hidroponik sendiri. Ibu muda ini membeli beberapa peralatan, seperti bak air, pot, hingga sumbu. Tak banyak biaya yang diperlukan untuk membeli peralatan tersebut. Hanya sekitar Rp 30 ribu, itu pun dapat digunakan berulang. Yuni memilih menggunakan wick system, yakni metode hidroponik yang menggunakan perantara sumbu antara nutrisi dan media tanam. Cara ini mirip dengan mekanisme kompor. Sumbu berfungsi untuk menyerap air. Wick system, menurutnya, cukup mudah untuk dipraktikkan oleh pemula sepertinya.


Yuni mengaku lebih senang bertanam sayuran, seperti bayam, kangkung, selada, sawi hijau, pakcoy, dan tomat. Dengan bertanam sayuran-sayuran tersebut, Yuni dapat memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-harinya. Bahkan hasil panen tanaman hidroponiknya juga bisa ia bagikan ke tetangga atau saudara. Dengan hidroponik, proses menanam hingga panen memang lebih singkat. Untuk sayuran, misalnya, dalam waktu satu hingga 1,5 bulan pasca pembibitan, tanaman sudah dapat dipanen. Hasilnya pun sangat memuaskan.

Dibanding sayuran di pasaran, hasil hidroponik, menurut Yuni, memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih segar. Daun-daunnya pun jarang yang berlubang. Sementara, untuk rasa, sayuran hasil hidroponik diklaim Yuni lebih enak, renyah, dan segar. Namun, untuk tanaman seperti bayam, biasanya hanya untuk dua kali panen. Setelah itu, tanaman harus dibuang dan diganti bibit baru. Sedangkan, sayuran seperti sawi, pokcoy, dan selada, malah hanya sekali panen dan langsung diambil semua tanamannya.


Sama halnya dengan para 'petani' pemula pada umumnya, Yuni juga sempat mengalami kegagalan dalam bertanam. Satu ketika, ia lupa menempatkan tanamannya di tempat yang terkena matahari sebab sinar matahari pagi memang sangat penting bagi tanaman, terlebih sayur-sayuran. Hasilnya, sayuran Yuni mengalami etiolasi. Etiolasi adalah kondisi di mana batang tanaman memanjang ke arah datangnya matahari. Etiolasi membuat tanaman menjadi rebah karena batang terlalu panjang. Jika hal ini terjadi, sudah dapat dipastikan tanaman gagal. Jadi, menurut Yuni, bibit yang baru saja pecah benih harus segera terkena sinar matahari dan harus secara merata sehingga tidak sampai terjadi etiolasi. Kini, Yuni pun mulai menularkan hobinya ke teman-teman lain. Tak jarang ia ikut membantu teman-teman yang ingin memulai berhidroponik. Yuni juga berencana mengembangkan metode hidroponiknya, tak sekadar dengan wick system, tapi juga dengan metode lain seperti pipa yang lebih panjang untuk menghasilkan tanaman yang lebih banyak.

Praktisi hidroponik, Charlie Tjandapati, mengatakan, selama ini banyak paradigma yang salah mengenai hidroponik. Banyak yang mengatakan hidroponik mahal dan menghabiskan waktu. Padahal, menurutnya, esensi hidroponik adalah penghematan. Bisa hemat waktu, tenaga, biaya, dan hemat segala rupa. Pria yang memulai hiroponik pada 2013 ini mengamati, para pemula yang menggeluti hidroponik juga umumnya belum pernah bercocok tanam. Akibatnya, saat dihadapkan pada kegagalan panen atau serangan hama, mereka langsung mundur.


Padahal, menanam hidroponik, menurut Charlie, terbilang mudah asalkan dilakukan dengan benar. Penempatan instalasi hidroponik juga harus diperhatikan sebab tanaman-tanaman tersebut membutuhkan sinar matahari pagi. Selanjutnya, tanaman mengasup nutrisi hidroponik AB mix dan air. Penggunaan bahan bekas juga, menurutnya, dapat dimaksimalkan sebab organik mestinya tak boleh mahal. Sehingga, bila ada yang bertanya berapakah dana yang diperlukan untuk bertani hidroponik maka sangat beragam. Dari nol hingga tak terhingga biayanya. Yang paling penting adalah, harus ada kemauan dan komitmen yang konsisten untuk memulai bertani dengan metode ini.


Komentar