HOBBY : KEBUT GUNUNG, Menuju Puncak Gunung Sambil Berlari.


Tren pendakian gunung yang semakin populer saat ini mendorong Harni Anink mencari sensasi berbeda. Anink yang merupakan pencinta kegiatan outdoor lantas mencoba aktivitas kebut gunung. Jika pendaki gunung kebanyakan berjalan untuk mencapai puncak, Anink berlari dan menembus rintangan trek alam yang variatif. Kebut gunung berkaitan dengan kegiatan lari lintas alam atau trail running. Istilah tersebut digunakan untuk kegiatan lari lintas alam dengan lokasi spesifik di gunung. Anink mengaku, sudah sejak tahun 2015 tertarik dengan kegiatan tersebut dan mencobanya. Lebih sering, karyawati swasta ini melakukannya bersama teman, dan belum terlalu sering mengikuti lomba lari trail. Dalam kegiatan hiking, menurut Anink, pendaki cenderung santai. Pendaki bisa berhenti untuk makan dan minum jika merasa lelah. Sementara dalam kegiatan kebut gunung, Anink mendapat tantangan baru. Para pendaki yang melakukan kebut gunung cenderung dikejar oleh waktu. Jadi tantangannya adalah, harus bisa menentukan target sampai.

Virus kebut gunung juga ikut menghinggapi Dhanang Puspita. Pria yang berprofesi sebagai dosen ini mengaku sering menemani para profesional di bidang lari trail. Ia sudah pernah berlari di beberapa gunung di Sumatra, Jawa, Bali, dan Lombok. Pengalaman paling berkesan, menurut Dhanang, adalah ketika ia berlari di Merapi tak berselang lama setelah erupsi pada 2010. Waktu itu ia modal nekat berlari di Merapi dari basecamp Selo sampai ke Pasar Bubrah, dengan kondisi debu yang masih selutut orang dewasa. Dhanang merasa, olahraga kebut gunung tidak hanya untuk membuat badan sehat, tetapi bisa juga mengandung unsur rekreasi. Menurutnya, ketika lari di aspal atau jogging track, ia akan berhadapan dengan pemandangan yang cenderung monoton. Sedangkan ketika lari di gunung, ia bisa mendapatkan pemandangan indah, udara segar, dan suasana relatif sepi. Karena mendapati pemandangan yang bagus itulah, lari jadi terasa lebih menyenangkan.

Dhanang menjelaskan, kebut gunung adalah variasi dari olahraga lari dan kegiatan hiking. Selama ini, kebanyakan orang lari di lintasan datar. Sedangkan berlari di gunung terdapat medan yang lebih bervariasi. Ada turunan, tanjakan, jalanannya pun juga tidak rata. Kebut gunung adalah kegiatan yang memiliki risiko. Karena itu, persiapan fisik dan logistik sangat penting. Sepatu yang digunakan adalah sepatu khusus lari lintas alam. Berlari dalam kondisi offroad, tentu membutuhkan sol sepatu yang lebih bergerigi, lentur, dan memiliki grip kuat dengan tanah. Jika mengenakan celana pendek, disarankan untuk mengenakan kaus kaki panjang hingga di bawah lutut. Hal itu berguna agar kaki terlindungi dari duri dan semak belukar.


Dhanang juga menyarankan untuk mengenakan kaus tipe dry fit yang bisa menyerap keringat. Sarung tangan juga diperlukan untuk menahan dingin dan mencegah terkena duri. Sementara itu, jenis ransel hydrobag cocok untuk kegiatan kebut gunung. Selain karena bentuknya kecil dan menempel erat ke punggung, tas jenis itu dilengkapi tabung dan selang air minum. Pelari pun tidak perlu repot-repot membuka tas ketika haus. Dalam kebut gunung atau lari lintas alam, barang bawaan memang harus efisien. Contohnya, untuk mengisi kebutuhan kalori, pelari tidak perlu membawa nasi bungkus yang berukuran besar. Hal itu bisa digantikan dengan cokelat batang. Perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) juga mutlak diperlukan untuk mengantisipasi keadaan darurat. Di luar hal itu, pelari juga perlu menyesuaikan medan tempat berlari. Contohnya, jika berlari di malam hari, siapkan senter jenis headlamp. Contoh lain, jika berlari di kondisi yang cukup dingin dan berangin, gunakan windbreaker atau jaket.

Pelari lintas alam Hendra Wijaya mengatakan, persiapan fisik perlu dilakukan secara rutin baik dengan lari di jalanan maupun di gunung. Ia mengatakan, biasanya catatan waktu lari di gunung adalah tiga kali capaian waktu ketika berlari di jalanan. Artinya, jika catatan waktu lari di jalanan selama 25 menit untuk jarak lima kilometer, catatan waktu di gunung adalah 75 menit untuk jarak yang sama. Hal ini karena faktor medan gunung yang memiliki banyak tanjakan dan turunan. Untuk bisa terus memperbaiki catatan waktu, perlu dilakukan latihan secara bertahap. Jika catatan waktu terus meningkat, selanjutnya bisa ditambah jarak berlari. Dan menurut Hendra, biasanya kalau latihan di jalan sudah baik, akan ada peningkatan juga untuk lari di gunung.

Hendra sudah terlibat dengan olahraga lari jarak jauh sejak 2011. Ia gemar mengikuti kegiatan lari ultra atau lari dengan jarak ratusan kilometer dan lari di medan ekstrem. Ia antara lain, pernah berlari di Kutub Utara, Gurun Gobi, dan berencana untuk berlari di pegunungan Himalaya. Hendra mulai senang berlari usai mengalami kecelakaan patah tulang karena bersepeda pada 2008. Lari adalah aktivitas yang bisa ia lakukan sembari memulihkan kondisi tangannya. Tetapi, ia justru jatuh cinta pada olahraga lari, terutama lari ekstrem. Lari pertama yang ia lakukan adalah lari ultra berjarak 100 kilometer di Singapura. Itu menjadi pengalaman yang berkesan baginya karena merupakan lari resmi pertamanya dan pertama kali ia ke luar negeri.


Bagi Hendra, dengan berlari, ia bisa menikmati berbagai kondisi alam di dunia, seperti hutan, gurun, dan salju. Ia juga tak terlalu ambil pusing soal catatan waktu. Ia mengaku, kegiatan lari ultra adalah soal ketahanan fisik dan mental. Kalau sudah bisa mencapai finish, itu sudah seperti menjadi juara bagi dirinya sendiri. Meski begitu, tentunya berlari mendaki gunung lebih cepat jika dibandingkan dengan berjalan. Dhanang mengatakan, untuk pendakian normal Merbabu dari basecamp hingga puncak membutuhkan waktu sekitar sembilan hingga 12 jam. Sementara, ia pernah mencatatkan waktu 2 jam 25 menit untuk mencapai puncak. Catatan waktu ketika turun pun tidak jauh berbeda. Dhanang juga mengatakan, tidak pernah mengalami pengalaman buruk ketika berlari. Kuncinya, adalah persiapan yang baik. Ia mengaku pernah bertemu dengan orang yang tidak membawa perlengkapan P3K dan kesulitan ketika mengalami cedera. Selain itu, periksa juga kondisi cuaca. Jika tidak mendukung, sebaiknya tidak perlu memaksakan diri untuk berlari. Kalau hujan, misalnya, bahaya trek licin, apalagi kalau belum berpengalaman. Maka sebelum lari gunung, periksa semua perlengkapan. Jika ada yang tidak mencukupi, jangan memaksakan tetap lari.

Komentar